Ekonomi

Sustainable Living Village, Cara Apical Hidupkan Lagi Perkebunan Kakao di Kutai Timur

INDOPOSCO.ID – Program Sustainable Living Village (SLV) yang dijalankan Apical dan didukung eksekusinya oleh Earthworm Foundation sejak 2024, mulai menunjukkan dampak nyata bagi warga di Desa Tepian Makmur, Kecamatan Rantau Pulung, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Melalui inisiatif alternatif mata pencaharian berupa budidaya kakao dalam skala demplot, program ini berhasil mendorong minat petani untuk menanam kakao di lahan mereka.

Sebelum sawit berkembang di desa ini, kakao pernah menjadi komoditas andalan petani. Namun sejak sekitar 2008, kebun kakao berangsur ditinggalkan. Program SLV kini berupaya menghidupkan kembali potensi tersebut dengan mengajak warga menanam kakao di lahan tidur, yaitu lahan pertanian yang tidak dimanfaatkan selama lebih dari dua tahun tetapi masih bisa diolah kembali. Pemanfaatan lahan ini diharapkan membuka peluang usaha baru sekaligus membantu mengurangi risiko kebakaran saat musim kemarau.

“Melalui program budidaya kakao SLV Kutai Timur, kami ingin menghidupkan kembali potensi kakao yang dulu pernah menjadi tumpuan petani. Pemanfaatan lahan tidur diharapkan tidak hanya menciptakan peluang usaha baru, tetapi juga menekan kebutuhan pembukaan hutan untuk perkebunan sawit,” ujar Agus Wiastono, Manager CSR Apical.

Sejalan dengan upaya tersebut, Earthworm Foundation menekankan pentingnya memanfaatkan kembali kakao sebagai sumber pendapatan desa. “Tidak ada kata terlambat untuk menanam kakao. Ketika kebun sawit memasuki masa replanting, pendapatan petani biasanya berkurang, dan kakao dapat menjadi penghasilan tambahan yang membantu menjaga kestabilan ekonomi keluarga,” kata Bahrun, Operational Manager Earthworm Foundation.

Untuk memperkuat penerapan praktik budidaya kakao berkelanjutan, Apical mengadakan pelatihan pada 11–12 September 2025. Narasumber dari Kelompok Tani ICS Pesete Tawai di Kampung Merasa, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, berbagi pengalaman dan praktik terbaik dalam budidaya kakao.

Pelatihan tersebut diikuti sekitar 41 peserta yang terdiri atas anggota Kelompok Tani Hutan Wana Makmur, perwakilan Badan Permusyawaratan Desa, penyuluh pertanian lapangan, Kepala Desa Tepian Makmur, calon petani kakao, serta mitra pemasok Apical yakni PT Kalimantan Agro Nusantara (PT KAN) dan PT Kutai Balian Nauli (PT KBN).

Berbekal ilmu yang dibagikan, para petani diharapkan terdorong untuk memulai atau kembali menanam kakao di lahan mereka. Peluang pasar juga semakin menarik, dengan harga biji kakao kering non-fermentasi yang berkisar antara Rp100.000 hingga Rp120.000 per kilogram, sedangkan kakao fermentasi dapat mencapai Rp120.000 hingga Rp130.000 per kilogram. Sebagai perbandingan, harga kakao kering non-fermentasi di Berau saat ini tercatat sekitar Rp125.000 per kilogram.

Ambrosius Hoban, petani kakao dari Desa Tepian Makmur, menilai inisiatif ini sebagai peluang baru bagi keluarganya. “Saya memiliki kebun sawit sekitar empat hektar dengan usia tanaman 13 tahun dan produksi rata-rata 600 kilogram per hektar. Dengan memanfaatkan lahan kosong untuk menanam kakao, saya berharap bisa mendapatkan alternative income yang menambah penghasilan keluarga selain dari sawit,” ujarnya.

Sejalan dengan filosofi 5C Apical—Good for Community, Country, Climate, Customer, dan Company—program ini menegaskan komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan. Apical berupaya memastikan dampak positif SLV dapat dirasakan lebih luas, membantu petani memperoleh alternative income yang berkelanjutan dan peduli lingkungan. (srv)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button