Ekonomi

PMK 32/2025 Tentang SBM Anggaran 2026, Ekonom: Pemerintah Salah Kelola Uang Rakyat

INDOPOSCO.ID – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025 mengatur Standar Biaya Masukan (SBM) Tahun Anggaran 2026. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa konsumsi rapat untuk pejabat setingkat menteri, wakil menteri, dan eselon I maksimal ditetapkan sebesar Rp171.000 per orang.

Nilai itu terbagi atas Rp118.000 untuk makan dan Rp53.000 untuk kudapan. Angka ini kemudian memantik reaksi publik di tengah ketimpangan sosial dan tekanan fiskal yang dihadapi negara.

“Bayangkan sebuah meja rapat berpendingin udara di kementerian, di mana para pejabat duduk mengelilinginya sambil menikmati makanan dan kudapan senilai Rp171 ribu. Kita harus bertanya berapa anak miskin yang bisa diberi makan bergizi dengan jumlah uang yang sama,” ujar Ekonom Achmad Nur Hidayat melalui gawai, Sabtu (7/6/2025).

Menurut dia, saat ini banyak keluarga marginal harus memilih antara membeli beras atau membayar uang sekolah anaknya. Di banyak pelosok, masih banyak kasus gizi buruk ditemukan.

“Jelas ada sesuatu yang keliru dalam prioritas pengelolaan anggaran,” ucapnya.

“Ini bukan hanya soal nominal, tapi soal paradigma pengelolaan keuangan publik,” sambungnya.

Dalam konstruksi sosial, menurut dia, kebijakan ini menghadirkan kesan bahwa efisiensi negara hanya berlaku kepada masyarakat. Sementara kenyamanan elit birokrasi masih dipertahankan dengan justifikasi “standar”.

“Esensi dari pelayanan publik itu adalah keadilan dalam pengorbanan dan proporsionalitas dalam hak,” katanya.

Ia menjelaskan, uang negara adalah uang rakyat. Setiap rupiah yang dibelanjakan seharusnya melalui lensa etika. Pemanfaatan anggaran harus menyasar kebutuhan masyarakat luas.

Dalam moralitas kebijakan publik, menurutnya, efisiensi bukan hanya tentang menghemat pengeluaran. Tetapi tentang mengalihkan sumber daya kepada mereka yang paling lemah, paling terdampak, dan paling membutuhkan kehadiran negara.

“Kebijakan uang konsumsi rapat Rp171 ribu menjadi problematik, bukan karena nilainya semata tapi karena mencerminkan disonansi moral dalam manajemen anggaran,” ungkapnya. (nas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button