Disway

Blangkon Merah

INDOPOSCO.ID – SAYA salah kostum Jumat malam kemarin. Malam itu, setelah jam 6 sore, sudah terhitung Sabtu Pahing –menurut hitungan budaya Jawa. Sabtu itu Sembilan. Pahing juga sembilan.

Berarti malam itu malam termahal –menurut hitungan Jawa: serba sembilan.
Lalu, 9 + 9 = 18. Satu Delapan. Kalau dua angka itu ditambahkan jadinya juga sembilan.

Harusnya saya hadir dengan pakaian adat Jawa. Agenda sarasehannya: perilaku kerohanian budaya Jawa.

Berita Terkait

Saya jadi aneh di tengah ratusan orang yang semua berpakaian adat Jawa: bawahan celana longgar warna hitam, baju lurik dan kepala berblankon.

Banyak juga yang pakai bawahan kain sebagai pengganti celana.

Saya pakai kaus. Lengan panjang. Warna kunyit. Dengan celana olahraga.

Tanpa blangkon pula.

Saya memang tidak sempat pulang. Dari acara ujian terbuka doktor untuk Dr Arif Afandi di Universitas Brawijaya, Malang, langsung ke padepokan itu.

Di Pacet, Mojokerto. Di lereng Gunung Arjuno dan Gunung Penanggungan.

Dingin. Angin malam menurunkan suhu menjadi 19 derajat Celsius.

Pemilik padepokan itu tahu perasaan risi saya: ia pun mengambil blangkon cadangan. Warna merah. Blangkon gaya Yogyakarta. Bukan gaya Raja Jawa dari Solo. Meski masih tetap berkaus tapi sudah terlihat lebih Jawa.

Tuan rumah malam itu memang asli Yogyakarta: Ibnu Sunanto. Jauh lebih muda dari saya: 50 tahun. Ibnu alumnus Universitas Telkom, Bandung. Kini ia seorang bos besar. Bidang usahanya fintech dan aplikasi digital.

Grup Bimasakti adalah miliknya. Uang digital Qris adalah miliknya.

Aplikasi ACI gojek online juga miliknya. Fastpay ia yang punya. Winpay, Speedcash, dan Raja Biller semua miliknya.

Dengan blangkon merah itu saya merasa agak pantas untuk memberi sambutan dalam bahasa Jawa. Mungkin ini pidato bahasa Jawa saya yang pertama selama 25 tahun terakhir.

Bayangkan sulitnya. Rasanya lebih mudah kalau malam itu saya diminta bicara dalam bahasa Mandarin.

Tapi harus bisa. Saya orang Jawa. Saya ingat: pernah berpidato dalam bahasa Jawa. Lebih 25 tahun lalu.

Waktu itu Pak Harmoko masih menteri penerangan. Beliau minta agar saya melestarikan majalah berbahasa Jawa, Joyoboyo. Tidak boleh mati. Saya harus membiayai dan menanggung kerugian tiap tahunnya. Itu demi budaya dan sastra Jawa.

Suatu saat Joyoboyo mengundang Pak Harmoko untuk tumpengan. Beliau bersedia hadir dengan syarat: semua acara harus dalam bahasa Jawa.

Termasuk semua pidatonya.

Berarti saat berpidato nanti beliau juga harus pakai bahasa Jawa. Beliau menyanggupinya.

Saya pun memulai acara dengan sambutan dalam bahasa Jawa. Rahayu. Lancar.

Lalu tiba giliran Pak Harmoko berpidato. Semua mengira akan baik-baik saja. Toh beliau termasuk orang yang bisa mendalang wayang kulit.

Ternyata lucu sekali. Beliau menyerah di menit kelima.

“Saya mengaku kalah,” katanya. Pidatonya pun dilanjutkan dengan bahasa Indonesia.

Pun Ibnu Sunanto. Bahasa Jawanya sudah kecampur 30 persen bahasa Indonesia. Masih untung. Tidak kecampur bahasa fintech.

1 2Laman berikutnya
mgid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button