Kilang Subsidi

INDOPOSCO.ID – Pertamina kembali jadi sorotan. Kali ini gara-gara menkeu yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, nyeletuk: “Pertamina saja yang malas-malas”.
Saya anggap ucapan Purbaya itu kelasnya hanya celetukan. Purbaya memang punya hobi usil: nyeletukin apa dan siapa saja.
Kali ini celetukannya salah –atau sengaja dibuat salah. Soal tidak dibangunnya kilang baru oleh Pertamina. Padahal sudah lama Pertamina berkoar akan mbangun tujuh kilang baru.
Sebenarnya Pertamina tidak pernah malas. Bahwa kurang kerja keras bukankah memang belum ada yang perlu dikerjakan. Yang kurang keras itu berpikirnya. Bukan kerjanya.
Misalnya, di Indonesia ada 19 juta mobil. Setiap satu juta memerlukan BBM 1,3 juta kiloliter per tahun. Asumsinya: satu mobil berjalan 15.000 km/tahun. Tiap satu liter bisa untuk 12 km –kecuali mobil Anda.
Maka kalau ada lima juta mobil bensin yang pindah ke mobil listrik tidak perlu lagi bangun kilang –sekelas kilang Balongan. Jangan sampai, sekarang membangun kilang, 10 tahun lagi mubazir. Padahal satu kilang besar perlu investasi sampai Rp 120 triliun.
Semua itu kaitannya dengan subsidi. Purbaya geram melihat besarnya subsidi. Maka ia ikut cawe-cawe soal kilang karena ia-lah yang harus membayar subsidi energi. Yang setahun bisa Rp 350 triliun –termasuk subsidi listrik. Dengan membangun kilang baru, pikirnya, subsidi akan turun. Pikirnya.
Sebenarnya ada sumber subsidi lain yang Purbaya tidak bisa berbuat banyak: green energi. PLN harus membeli listrik dari solar cell dengan harga mahal. Lalu PLN harus menjualnya dengan harga murah.
Begitu banyak orang bangga dengan dibangunnya PLTS di atas air di danau Cirata Jawa Barat. Faktor dibangun di atas air saja sudah sangat “seksi”. Bisa membuat atasnya air pun menghasilkan listrik. Apalagi besarnya luar biasa –untuk ukuran tenaga Surya: 100 MW.
Bagi saya proyek itu sebenarnya tragedi bagi PLN –yang berarti tragedi juga bagi subsidinya Purbaya.
PLTS Cirata itu hanya menghasilkan listrik di siang hari. PLN harus membelinya. Wajib. Padahal PLN sudah kelebihan listrik untuk siang hari di Jawa. Bahkan listrik itu dihasilkan PLN dengan biaya yang lebih murah: pakai batubara dari dalam tanah air sendiri.
Maka perang terhadap subsidi listrik harus fokus pada petang sampai menjelang tengah malam. Saat seperti itulah listrik paling banyak digunakan. Bukan siang hari. PLN terpaksa mengatasinya dengan cara apa pun –termasuk bakar BBM yang mahal.
Itu karena PLTS seperti Cirata –dan sejenisnya– tidak bisa menghasilkan listrik di malam hari.
Maka perang terhadap subsidi energi harus dilakukan oleh komandan yang sangat paham energi. Paham sampai ke detil-detilnya. Energi siang beda dengan malam. Pagi beda dengan petang. Jawa beda dengan luar Jawa. Indonesia barat beda dengan Indonesia timur. Yang di Timur sendiri hampir tiap pulau beda pula.
Lebih baik Purbaya konsisten dengan doktrin awalnya: “Kalian yang harus pikir. Kok saya!”.(Dahlan Iskan)