Geothermal

Oleh: Dahlan Iskan
INDOPOSCO.ID – GEOTHERMAL itu tidak laki-laki tidak perempuan. Saya baru tiba di ruang itu ketika seseorang mengatakannya. Saya tengok siapa ia: oh.. Direktur Utama PLN Dr Darmawan Prasojo.
Saya pun diminta duduk di sebelah kanannya. Di ruang tunggu di Hotel Bidakara, Jakarta, kemarin. Saya ingin terus mendengarkan kenapa jenis kelamin dibicarakan di situ.
Di sebelah kanan saya lagi ada Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto. Yakni komisi yang membidangi energi dan riset. Kemarin itu kami sama-sama menunggu dimulainya acara tahunan penghargaan atas prestasi-prestasi di bidang kelistrikan Indonesia. Sudah hampir 10 tahun saya absen di acara seperti ini.
Yang dimaksud ”banci” oleh Dr Darmo (begitu panggilan dirut PLN) itu adalah skema proses bisnis geothermal. “Harusnya ikut tata cara migas,” kata Dr Darmo. Yakni ada perhitungan cost recovery.
PLN sangat berkepentingan agar seluruh potensi geothermal bisa jadi listrik beneran. Listriknya sangat hijau. Juga murah. Apalagi di tengah tekanan agar PLN segera mengakhiri sumber listrik dari batu bara.
Anda sudah tahu: potensi listrik dari geothermal setidaknya masih 20.000 MW. Ada yang menyebut 28.000 MW. Tapi mewujudkannya sulit: pemenang tendernya sulit mendapat pendanaan. Itu karena sumber dana menginginkan kepastian: benarkah ditemukan sumber panas bumi di lokasi itu. Kalau pun ada, benarkah besarnya seperti yang ada di dokumen tender.
Satu-satunya jalan untuk mendapatkan data itu hanyalah: lakukan pengeboran! Tapi biaya pengeboran itu bisa mencapai Rp 75 miliar. Satu sumur. Mahal sekali. Inul Daratista memang bisa ngebor, lebih murah, tapi tidak cocok untuk geothermal.
Padahal, setelah menghabiskan uang sebanyak itu, belum tentu ditemukan panas bumi di situ. Padahal pula, di satu lokasi tender harus dilakukan pengeboran sampai 5 sumur: untuk mendapatkan jumlah panas bumi yang cukup ekonomis bagi membangkitkan listrik.
Maka sahut-menyahut terjadi di ruang tunggu itu. Banyak tokoh listrik di situ. Diskusi tanpa moderator pun berlangsung asyik. Kesimpulan pun bisa didapat: perlu dana negara untuk mengatasi kebuntuan geothermal.
Saya pernah menghitung: 12 tahun lalu. Negara ”hanya” perlu menyiapkan uang Rp 500 miliar. Sebagai dana awal saja. Dana bergulir. Sangat tidak banyak untuk ukuran negara. Dibanding dengan hasil yang akan didapat. Terutama untuk mencapai listrik hijau selamanya.
Dan lagi, uang itu tidak hilang. Dana itu akan digelindingkan dari satu geothermal ke geothermal lainnya.
Dana Rp 500 miliar itu – mungkin sekarang lebih dari itu– bisa dipakai untuk mengebor 10 sumur. Di dua lokasi. Dari 10 sumur itu mungkin 4 yang ”kosong”.
Tapi jelaslah bahwa di lokasi itu ada panas bumi atau tidak. Jumlah panas buminya juga jelas.
Setelah potensinya nyata, barulah pemerintah melaksanakan tender. Yang ikut tender pun sudah bisa berhitung: akan menawar di harga berapa. Pemenang tender harus mengganti biaya pengeboran dari dana APBN tadi. Menggelinding. Uang pengembalian dipakai lagi untuk mengebor di lokasi lain.
Selama ini tender geothermal dilakukan seperti menebak gadis bercat hijau di ruang gelap. Sangat spekulatif. Tidak serius.
Maka semua tokoh listrik di ruang itu sepakat cara seperti itu. Tapi semua juga menyadari: tidak mudah mewujudkannya. Terutama dikaitkan dengan aturan penggunaan uang APBN. Pertanyaannya: siapa yang akan mengelola uang itu.
Jelaslah: hanya keputusan atau peraturan Presiden yang bisa menerobos kebuntuan ini.
Tidak hanya itu.
Lokasi yang berpotensi memiliki panas bumi, hampir semuanya sudah ditenderkan. Sudah ada pemenangnya. Sudah lama sekali. Maka harus ada juga terobosan lain: akan diapakan itu. Dibatalkan semua? Diultimatum? Yang kalau setahun ke depan tidak melaksanakan maka status sebagai pemenang tender dibatalkan?
Anda sudah tahu: pemerintah Presiden Jokowi sangat berani dalam hal menerobos kebuntuan di banyak bidang. Tapi masih ketinggalan di soal geothermal. (*)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan*
Edisi 22 Februari 2023: Bahagia Sejahtera
Udin Salemo
#everyday_berpantun Pesuruh kantor beli kuini/ Belinya ke Pasar Pandaan/ Perusuh disway memang berani/ Pak boss DI-pun jadi candaan/ Pak Kos turunan bangsawan/ Orangnya rapi suka pakai dasi/ Pak boss DI bukan berangasan/ Walau disenggol tak naik tensi/ Tabang randah buruang Kenari/ Inggok di dahan batang malinjo/ Sabanta bana rasonyo hari/ Awak masih surang sajo/ Ambo ka pai ka Sungayang/ Untuak manjua ikan belanak/ Ka bakeh urang bakato sayang/ Lupo di rumah alah baranak-pinak/
Mirza Mirwan
Dharavi memang area slum terbesar di Mumbai. Tapi bukan satu-satunya. Area slum juga bertebaran di balik gedung-gedung yang menyangga langit. Jadi tidak terlihat menyolok mata kayak Dharavi. Mankhurd-Govandi belt, Kurla-Ghatkopar belt, Dindoshi, dan Bhandup Mulund, adalah beberapa area slum lainnya di Mumbai. Menurut Pemerintah Maharashtra ada ribuan area slum di Mumbai. Bagaimana dengan New Delhi? Di ibukota India itu juga ada ratusan area slum. Madanpur Khadar, Sangam Vihar, Paharganj, Kathputh, dan Seemapuri, adalah beberapa di antaranya. Kalau naik mobil area slum itu tidak terlihat, tetapi kalau naik metro (kereta komuter) jelas terlihat karena dilintasi rel kereta. Kenapa produser film India suka menjadikan Dharavi sebagai lokasi syuting? Tentu saja karena, untuk film yang butuh ratusan figuran, mudah mendapatkannya di Dharavi. Dengan bayaran murah. Semurah bayaran tukang tepuk-tangan di acara TV kita.
Jimmy Marta
Kalau anda disuruh milih, anda pilih bahagia atau sejahtera?. Berdasarkan survey, 72, 7% orang memilih bahagia dg alasan, sejahtera(bc:kaya) belum tentu membuat bahagia. Dan 27,3% memilih kaya. Katanya, dg kaya semua dibeli. Meiliki segalanya itulah kebahagiannya.. Sejahtera dan bahagia adalah dua kondisi yg berbeda. Maksudnya, jika orang sejahtera bisa dilihat mata telanjang. Namun orang bahagia belum tentu bisa dilihat secara kasat mata. Jika kita aplikasikan kondisi ini, di perusuh disway, kita susah tahu siapa2 yg bahagia.(Sejahtera gk usah dibahas). Namun sekedar tanda2, kt bisa menyebut nya bbrp. Misal e, orangnya sering tertawa. Atau orangnya membikin orang tertawa. Atau ini, ceritanya bisa bikin orang ramai2 bahagia mentertawakan kalimatnya…hehe. Sudahlah…! gk usah seriusan tentang siapà2 itu. Kita berusaha saja mengisi tabungan masing2. Mudah2 dg begitu kita menjadi sejahtera plus bahagia… #banyak komen banyak rezeki #chd rame tf lancar
Liam Then
Kemajuan ekonomi Tiongkok, sampai-sampai bikin Hollywood modifikasi scenario, masukan artis-artis asal Tiongkok kedalam film-filmnya, beberapa malah sudah memakai pemeran utama artis Tiongkok, malah sudah ada yang memasukan artis Barat ke dalam setting cerita yang sepenuhnya di Tiongkok. Kemajuan ekonomi India pun di ramal dimasa depan akan menyusul Tiongkok. Jumlah populasinya hampir sama, jika ada gerakan positif , sumbangan ratusan juta orang ke dalam ekonomi,skalanya bakal tak main-main. Cuma bedanya di India ada industri film yang sudah berakar kuat. Jangan-jangan dimasa depan, alih-alih kita lihat Film Hollywood dengan aktor asal India. Kita malah ketemu film India dengan bintang Holywood di dalamnya. Muncul dari balik pohon, kemudian menari-nari bersama bintang utama lokal. Kwkwkkwkw