Yourway Myway

Oleh: Dahlan Iskan
INDOPOSCO.ID – Minggu depan, genap lima tahun saya menulis di Disway. Setiap hari. Tanpa absen satu hari pun. Pun ketika saya di pedalaman Amerika. Atau Tiongkok. Atau India. Atau Pakistan. Atau pun ketika sedang dirawat di rumah sakit akibat Covid-19.
Anda pun sudah hafal gaya tulisan saya. Mungkin sudah ada yang mulai bosan. Atau terganggu. Atau ketagihan. Mulailah muncul komentar-komentar yang isinya seperti masakan Thailand: pedas, kecut, renyah, gurih, hambar, jadi satu. Dan yang paling menghibur ini: banyak komentar yang lucunya membuat saya tertawa sendiri. Pun ketika di sebelah penumpang di dalam pesawat.
Tentu saya punya banyak masalah rumit di kehidupan ini. Yang memakan energi. Mengerutkan wajah. Memutihkan rambut. Tapi begitu sering kelucuan di komentar itu yang melonggarkan saraf-saraf tegang saya. Mungkin karena itu wajah saya gagal berkerut. Dan rambut saya gagal memutih semua.
Tentu banyak juga tulisan yang isinya lebih bagus dari isi tulisan saya sendiri. Yang gaya bahasanya juga punya ciri khas tersendiri. Sampai-sampai saya sering terpikir: selamat akan saya coba Disway terbit tanpa tulisan saya. Atau hanya berisi judul saja, tanpa isi. Pasti tidak ada yang terasa hilang. Toh banyak pembaca yang memulai membaca Disway justru dari komentarnya dulu. Ini penghinaan yang jujur sebenarnya. Tapi kalau faktanya begitu maka saya tidak bisa mengenakan pasal penghinaan. Penghinaan yang benar adalah kebenaran.
Maka pasal yang harus dikenakan bukanlah pasal penghinaan tapi pasal introspeksi.
Dari pertemuan “Perusuh” Disway di Agrinex, Banten Selatan, tutup tahun lalu saya pun sadar: level pembaca Disway ternyata begitu tingginya. Tanpa pertemuan itu sebenarnya sudah bisa diketahui: dari membaca kualitas komentar di Disway. Pertemuan Agrinex hanyalah konfirmasi belaka.
Berarti pembaca Disway sudah pada tingkat tidak layak didikte. Terutama oleh opini saya. Berarti Anda, dengan latar belakang seperti itu, adalah orang-orang yang berpikir sangat independen.
Berarti sudah waktunya saya merenungkan suara-suara di komentar Disway. Terutama suara ini: berikanlah wadah ekspresi bagi pembaca. Diwadahi hanya di kolom komentar tidak lagi memadai.
Saya serius sekali memperhatikan suara itu.
Maka mulai terbitan 9 Februari depan, akan ada rubrik baru di Disway: ekspresi pembaca. Ekspresi Anda. Nama rubriknya belum diputuskan. Mungkin itu tadi: Ekspresi Publik. Atau Yourway. Atau Myway. Atau Pryway. Atau apa pun yang Anda usulkan.
Silakan Anda menulis: mengekspresikan pikiran di Disway. Tentu ada aturan mainnya. Lagi dipikirkan. Yang jelas, panjang tulisan tetap dibatasi. Tanpa pembatasan, rubrik itu akan penuh tulisan ngelantur. Kita juga sudah harus terbiasa mengurangi ”banyak bicara” apalagi bicara yang tidak penting.
Yang juga lagi dipikirkan adalah, apakah perlu moderator. Tanpa moderator bisa seperti salah satu ciri medsos: hanya membangun kekacauan. Medsos ibarat sepak bola yang tanpa wasit. Betapa kacaunya.
Tapi saya juga tidak ingin moderator itu seorang diktator yang represif.
(Bisa saja menurut Leong Putu, di suatu mimpi saya, ”diktator” itu berasal dari kata ”diktat”. Diktat adalah satu jenis buku yang diajarkan di sekolah. Berarti ”diktator” adalah pembuat diktat: para guru).
Saya pun menghubungi Sahabat Disway Joko Intarto (JTO). Ia bukan sahabat Disway biasa. Ia yang memaksa saya membuat Disway dan menulis setiap hari. Enam tahun lalu. Ia yang kini sukses jadi pengusaha Jagaters, juga ikut mengusulkan dilahirkannya rubrik seperti yang kita bahas ini.
Ia usul: pakai moderator. Agar sampah jangan masuk mesin intelektual di otak pembaca. Kalau bahan bakunya sampah, produk berpikirnya nanti juga sampah. Ralat: bahan baku pabrik PLTSm adalah sampah, produknya listrik. (*)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 28 Januari 2023: Uya Utama
neng bonita
Wah tdk sangka pak dahlan menonton yt uya kuya. Memang benar pak, uya kuya yg dulu dijuluki artis “alay” dan raja settingan sdh berubah banyak. Saya termasuk yg tdk sengaja mengikuti kira2 setahun terakhir ini. Transformasinya dimulai ketika dia berperkara dgn medina zein. Lalu ribut2 dengan pengacaranya. Dan sepertinya pamor dia sebagai artis, membuat banyak org akhirnya datang utk mengadu ataupun sekedar bercerita. Sekaliber alvin lim pun pernah membawa kliennya utk bercerita kembali di channel uya tv, pdhl klien tersebut sdh pernah diangkat di channel beliau. Uya jg mau menerima dari pihak lawan bintang tamunya. Jd bener2 seperti wartawan yg cover both side.
Denny Herbert
Jadi ingat tulisan Abah beberapa tahun lalu tentang legislatif di Singapura yg selalu membuka meja pengaduan misalnya tiap hari rabu malam di dapilnya.. Pada masa Ahok berkuasa juga setiap pagi menerima aduan dari warga yg sudah antri dari subuh dan diupload ke youtube dan langsung diesekusi bila masalahnya bisa diatasi segera. Kalau 50% saja legislatif dan eksekutif pusat dan daerah mau melakukan buka meja pengaduan secara berkala dan diupload di medsos maka bangsa ini akan lebih maju lagi. Ada transparansi.. seperti motto baru polri PRESISI, salah satu SInya TransparanSI tapi belum terlalu transparan… Ini juga akan hemat biaya kampanye bagi bakal calon dan pejabat bila dilakukan dengan tulus, baik, benar dan bijak
Leong putu
Media sekarang lebih tertarik untuk memuat berita seekor ular dua meter ada di plafon rumah warga. Atau lebih semangat memberitakan kebaya merah hingga berseri-seri, lanjut kebaya hijau. Dan kemarin mulai memberitakan video SPG sampai membuat menelan ludah. ….wkwkwkwk…..
Mbah Mars
Peran wartawan koran untuk nahi munkar melawan oknum aparat ibarat lampu tinggal kelip-kelip saja. Maka tak akan lagi kisah wartawan Abdur dalam “Siapa membunuh Putri”. Jangankan muncul Abdur Abdur baru di koran. Lha wong di CHD saja Abdur sudah tidak boleh berkisah. Entahlah apa sesungguhnya yang terjadi.