INDOPOSCO.ID – Di tengah upaya pemerintah mengurangi angka kemiskinan yang masih bertengger di angka 8,5 persen dari total populasi, sebuah ironi kembali menyeruak, dimana bantuan sosial (bansos) yang nilainya mencapai Rp 110,72 triliun hingga akhir 2025 justru sebagian mengalir ke kantong para bandar judi online (judol) dan kios-kios rokok di pelosok negeri.
Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf, atau Gus Ipul, dengan nada tegas mengingatkan jutaan penerima bansos agar tidak tergelincir dalam penyalahgunaan bantuan tersebut.
Gus Ipul mengimbau agar dana bansos bukan digunakan untuk judol, bukan untuk membeli rokok, bukan untuk membeli minuman keras (miras), dan bukan untuk bayar utang. Imbauan keras itu dimaksudkan untuk memastikan dana yang seharusnya menopang kebutuhan dasar, benar-benar menyentuh dapur keluarga rentan.
Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, menilai seruan Gus Ipul memang baik secara moral, tapi sulit menembus realitas sosial penerima bantuan.
“Larangan itu bagus agar bansos tepat guna, tetapi secara sosiologis sulit dipatuhi. Ironis kalau dana yang seharusnya membantu justru dipakai untuk judol, miras, atau merokok,” ujar Tulus melalui gawai, Minggu (16/11/2025).
Tulus membeberkan dua alasan mengapa imbauan tersebut berpotensi hanya menjadi slogan moral belaka. Pertama, tidak ada mekanisme kontrol maupun instrumen hukum yang memungkinkan pemerintah memantau penggunaan dana bansos secara langsung.
“Ini imbauan tanpa gigi. Tidak ada perangkat kebijakan untuk memastikan kepatuhan di lapangan,” kata pegiat perlindungan konsumen itu.
Kedua, data menunjukkan masalah penyalahgunaan sudah mengakar. Di seluruh Indonesia, setidaknya 650 ribu penerima bansos kedapatan menghabiskan bantuan untuk bermain judi online. Bahkan di Jakarta saja, sekitar 5.000 penerima disebut melakukan hal serupa. Meski Gubernur Pramono Anung berjanji akan memberi sanksi, pertanyaannya tetap sama, bagaimana cara menegakkannya?
Tantangan lain yang tak kalah pelik adalah urusan rokok. Dengan 70 juta perokok aktif, sebagian besar dari keluarga menengah bawah, larangan penggunaan bansos untuk membeli rokok hampir mustahil dijalankan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bahkan mencatat, rumah tangga miskin mengalokasikan 10–11 persen pendapatan untuk merokok setiap bulan. “Dengan pola konsumsi seperti itu, sangat mungkin bansos ikut mengalir untuk beli rokok,” kata Tulus.
Karena itu, Tulus menilai langkah Gus Ipul tak cukup berhenti di ruang imbauan. Pemerintah harus bergerak lebih terstruktur, dari hulu hingga hilir. Salah satu caranya adalah memperkuat kerja sama lintas lembaga, mulai dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kepolisian, hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk memberantas aplikasi judol yang menjebak masyarakat kelas bawah, termasuk anak-anak.
“Sementara untuk persoalan rokok, pemerintah didorong menerapkan kebijakan yang sudah memiliki payung hukum, seperti larangan penjualan rokok batangan sesuai PP 28/2024, serta mengerek harga rokok sehingga tak lagi mudah diakses oleh rumah tangga miskin,” terangnya.
Jika langkah-langkah tersebut tak dijalankan, Tulus memperingatkan, banjir bansos hanya akan menjadi “bancaan bandar judol dan pundi-pundi taipan rokok,” bukan alat yang mampu memutus rantai kemiskinan. “Pada akhirnya dana bansos jadi sia-sia dan masyarakat malah makin terjerat kemiskinan struktural,” tambahnya.
Di tengah besarnya harapan pada dana bantuan negara, tantangan yang mengemuka hari ini memberi satu pesan jelas, yakni tanpa pengawasan serius dan kebijakan yang menyentuh akar persoalan, bantuan sosial akan terus hanyut, bukan pada kebutuhan rakyat, tetapi pada godaan-godaan yang membuat mereka makin tergelincir. Dan ketika itu terjadi, yang rugi bukan hanya penerima bansos, tetapi seluruh bangsa. (her)









