INDOPOSCO.ID – Secara hukum dan politik, sangat mungkin kasus dugaan pengelembungan anggaran (Mark up) proyek kereta cepat Jakarta-Bandung Whoosh menyeret pemerintah sebelumnya.
Pernyataan tersebut diungkapkan Pengamat Hukum Universitas Nasional (Unas) Ismail Rumadan melalui gawai, Sabtu (1/11/2025). Apalagi, menurutnya, jika ditemukan unsur kebijakan dan keputusan anggaran yang melampaui kewenangan administratif atau melibatkan konflik kepentingan.
“Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sejak awal pembiayaannya menuai kontroversi, terutama setelah skema business-to-business (B2B) yang dijanjikan pada awalnya berubah menjadi beban keuangan negara melalui penyertaan modal negara (PMN),” terangnya.
“Apabila KPK menemukan bahwa keputusan tersebut diambil dengan niat memperkaya pihak tertentu, atau mengandung penyalahgunaan wewenang (abuse of power) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka pihak-pihak dari pemerintahan sebelumnya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana,” imbuhnya.
Ia menduga kuat ada dugaan korupsi pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung Whoosh. Apalagi selisih harga signifikan antara nilai proyek di Indonesia (USD 52 juta) dan harga asal di Tiongkok (USD 18 juta).
“Kesenjangan sebesar itu menimbulkan dugaan mark-up, kolusi, dan penggelembungan biaya yang tidak rasional dalam konteks proyek publik,” katanya.
“Jika KPK dapat menelusuri rantai kontrak, subkontrak, dan proses pengadaan serta menemukan indikasi manipulasi harga atau rekayasa tender, maka unsur tindak pidana korupsi telah terpenuhi,” sambungnya.
Apalagi, masih ujar dia, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung Whoosh melibatkan BUMN konsorsium (KCIC) dan dana publik melalui PMN dan utang luar negeri. Skema ini sangat berpotensi menimbulkan kerugian negara.
“Pemerintah sebelumnya memiliki tanggung jawab hukum, administratif, dan moral. Secara hukum, pejabat yang menandatangani atau menyetujui pembiayaan, pengalihan risiko, dan skema kerja sama memiliki tanggung jawab jabatan untuk memastikan prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas keuangan negara terpenuhi (Pasal 3 UU Keuangan Negara dan Pasal 2 UU Tipikor),” jelasnya.
“Secara administratif, pemerintah wajib melakukan audit kinerja dan audit keuangan sebelum dan sesudah proyek dilaksanakan. Kegagalan melakukan due diligence dan pengawasan internal juga bisa dikategorikan sebagai kelalaian berat yang merugikan keuangan negara,” imbuhnya.
Dikatakan dia, pada kasus tersebut mencerminkan kegagalan tata kelola proyek strategis nasional (PSN) yang tidak transparan, dan menjadi peringatan keras bagi pemerintahan baru, agar tidak mengulangi praktik serupa.
“Proyek yang awalnya dijanjikan tanpa beban APBN kini justru menjadi simbol beban fiskal dan korupsi struktural, menunjukkan lemahnya pengawasan internal BUMN dan DPR,” tegasnya. (nas)









