JPU KPK Hadirkan Empat Saksi pada Sidang Lanjutan Kasus Mantan Gubernur Bengkulu

INDOPOSCO.ID – Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan dan memeriksa empat orang saksi pada sidang lanjutan mantan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah terkait kasus dugaan gratifikasi dan pemerasan yang juga melibatkan mantan Sekda Provinsi Bengkulu Isnan Fajri serta ajudan gubernur, Evriansyah alias Anca.
Keempat saksi yang diperiksa di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu, Selasa (15/7/2025), antara lain istri terdakwa Rohidin Mersyah, yaitu Derta Wahyulin yang juga merupakan anggota Komisi VIII DPR RI dan anak kandung Rohidin, Zamlarini, yang keduanya dihadirkan secara daring.
Sedangkan dua saksi lainnya adalah saksi ahli dari KPK yang merupakan ahli hukum pidana Universitas Andalas (Unand) Prof Dr H Alwi Danil SH MH dan saksi ahli konstitusi dari terdakwa Rohidin Mersyah, yakni Prof Dr Andi Muhammad Asrun.
“Tanah di Jalan Kapuas itu saya beli tahun 2019 dari tabungan saya Rp900 juta. Kemudian tanah di Pematang Gubernur dibeli saat COVID-19 harganya Rp 250 juta, harganya memang segitu karena masih SKT,” kata Derta Wahyulin saat memberikan keterangan melalui daring di PN Tipikor Bengkulu seperti dikutip Antara.
Pemeriksaan terhadap Derta dan Zamlarini dilakukan terkait sejumlah aset tanah dan rumah milik Rohidin Mersyah yang disita oleh KPK terkait kasus dugaan gratifikasi dan pemerasan.
Untuk aset yang dijelaskan oleh JPU KPK selama persidangan seperti tanah seluas 910 meter persegi di Jalan Kapuas Kota Bengkulu, sebidang tanah 1.200 meter persegi di Kota Bengkulu.
Kemudian sebidang tanah di Kelurahan Pematang Gubernur Kota Bengkulu dengan luas 1.120 meter persegi, tanah seluas 600 meter persegi di Bentiring Kota Bengkulu dan rumah di Jalan Kapling Dosen UI Kota Depok.
Aset tanah dan rumah tersebut dibeli oleh terdakwa Rohidin Mersyah atas nama anaknya yaitu Zamlarini, istrinya Derta Wahyulin yang dibeli dengan rentan waktu 2021 hingga 2023 dengan harga mulai dari Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
“Sumbernya dari uang suami saya, selaku gubernur, dia kan ada tunjangan, SPPD dan lainnya. Saya tegaskan, tanah dan rumah yang kami beli itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara suami saya. Karena saya beli itu dengan uang pribadi, kisaran tahun 2021. Saya dapat jatah dari bapak (terdakwa Rohidin Mersyah) Rp60 sampai Rp80 juta, setahun sekitaran Rp1,5 miliar kalau ditotal,” ujar Derta.
Sementara itu, saksi ahli pidana Universitas Andalas Prof Dr Alwi Danil menjelaskan terkait konteks tindak pidana korupsi dan tindak pidana pemilihan umum, dan kedua istilah tersebut tidak bisa disamakan.
Menurut Alwi, tindak pidana korupsi banyak motifnya, seperti penyalahgunaan wewenang, suap, pemerasan dalam jabatan, penggelapan hingga gratifikasi yang semuanya menimbulkan kerugian negara.
Sedangkan untuk tindak pidana pemilihan umum (pemilu), pada umumnya diklasifikasikan sebagai pelanggaran administratif, salah satunya contohnya adalah pasangan calon tidak melaporkan dana kampanye kepada akuntan yang ditunjuk Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sebab, pada Pasal 12e Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, kata dia, ancaman dalam kasus korupsi artinya memaksa secara psikis, sehingga orang yang dipaksa berada dalam kondisi tertekan secara psikologis, jika menolak, maka akan terjadi hal yang tidak mengenakkan.
“Paksaan dalam konteks Pasal 12e, orang yang dipaksa itu berada dalam kondisi tertekan secara psikologis. Kalau menolak, akan terjadi hal tidak mengenakkan. Dalam hal ini, pasti ada hubungan, misalnya penyelenggara negara dengan PNS atau PNS dengan bawahannya. Jika tidak ada hubungan pekerjaan dan jabatan maka tidak bisa dikategorikan Pasal 12e,” ujar Alwi. (dam)