Pengamat: PSU Bengkulu Selatan Contoh Buruk Lumpuhnya Peran Bawaslu Daerah

INDOPOSCO.ID – Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah menyesalkan sikap Bawaslu Bengkulu Selatan yang menghentikan kasus rekayasa penangkapan calon wakil bupati paslon nomor 2 Ii Sumirat pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Bengkulu Selatan.
Ia menilai, alasan Bawaslu yang menyebut laporan atas kasus tersebut tidak terbukti sebagai pelanggaran sulit diterima akal sehat.
“Ini salah satu contoh buruk lumpuhnya peran Bawaslu di daerah. Tidak terlihat keseriusan mengusut dengan berlindung di balik alasan normatif semacam itu. Padahal jelas itu tindak pidana pemilu di mana yang jadi korban calon wakil bupati,” kata Dedi melalui gawai, Selasa (13/5/2025).
Dia mengatakan, peristiwa kejahatan politik di malam pelaksanaan PSU itu cukup terang benderang. Di samping korbannya adalah cawabup, para pelaku teridentifikasi sebagai tim sukses paslon lainnya.
Kasus rekayasa penangkapan seperti di Bengkulu Selatan, dikatakan Dedi, pernah terjadi di daerah lain. Namun, dalam banyak kejadian Bawaslu tidak dapat diandalkan. Meskipun Bawaslu bukan penegak hukum, setidaknya rekomendasi Bawaslu dapat digunakan untuk kepentingan penegak hukum.
Dan, masih ujar dia, memang Bawaslu dalam situasi itu kurang miliki keterampilan memahami pelanggaran di pelaksanaan Pilkada. Padahal seharusnya Bawaslu sebagai lembaga pengawas sah sesuai UU harusnya tegas.
“Kalau tidak ditindak, maka akan menjadi preseden buruk, ke depannya akan menjadi role model untuk melumpuhkan lawan, yang mengancam keberlangsungan demokrasi itu sendiri,” terangnya.
Dalam peristiwa tersebut, mobil yang ditumpangi Ii Sumirat dibuntuti, dihadang, dan digeledah oleh segerombolan orang dari kubu paslon lainnya. Dengan berlagak sebagai aparat penegak hukum, mereka merekam kejadian sembari mengeluarkan kata-kata kotor serta mempermalukan korban seakan-akan pelaku kejahatan.
“Tindakan mengancam, melakukan kekerasan itu jelas pidana. Jelas ini potret buruk kinerja Bawaslu saat ini jika dianggap bukan pidana,” kata Dedi.
Kedua, pidana berupa narasi fitnah dengan memanipulasi fakta-fakta kejadian yang sebenarnya.
Hampir bersamaan dengan peristiwa itu, muncul narasi menyesatkan disertai gambar atau video yang, salah satunya, menyebutkan bahwa Ii Sumirat telah ditangkap polisi atas kasus hukum.
Narasi penangkapan itu disebar secara masif dan terorganisir ke media sosial seperti Facebook dan Whatsapp, termasuk didengungkan dari mulut ke mulut di lokasi-lokasi sekitar TPS.
Karena itu, menurut Dedi, seharusnya kelompok yang melakukan pelanggaran terkait pelaksanaan Pilkada, harus dieliminasi atau diskualifikasi. Karena ancaman dengan kekerasan seharusnya masuk kategori mengganggu jalannya Pilkada yang adil dan bebas.
“MK semestinya secara kontekstual melihat itu sebagai alasan untuk membela kandidat yang alami kekerasan,” ujar Dedi. (nas)