Kuasa Hukum Nilai Penetapan Tersangka Nadiem Makarim Prematur

INDOPOSCO.ID – Tim penasihat hukum eks Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menyampaikan replik atas jawaban yang disampaikan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam sidang lanjutan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin (6/10/2025).
Prosedur hukum yang dijalankan Kejagung dalam penetapan tersangka terhadap mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tersebut dinilai cacat hukum, baik secara formil maupun materil.
Perwakilan Tim Kuasa Hukum Nadiem, Dodi S Abdulkadir menegaskan, pihaknya menolak proses penetapan tersangka oleh Kejagung terhadap kliennya. Alat bukti yang digunakan dinilai tidak cukup kuat. Selain itu, belum adanya perhitungan resmi kerugian keuangan negara (actual loss) dijadikan alat bukti.
“Penetapan tersangka terhadap klien kami tidak memiliki dasar hukum yang kuat, karena syarat utama, yaitu dua alat bukti yang sah, belum terpenuhi,” kata Dodi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dikutip Rabu (8/10/2025).
Menurutnya, salah satu pilar utama dalam hukum acara pidana adalah penetapan tersangka harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah. Kejagung justru hingga penetapan tersangka pada 4 September 2025, tidak pernah menjelaskan secara rinci bukti yang dimiliki dan kaitan langsung bukti tersebut dengan Nadiem.
Poin krusial yang digarisbawahi adalah tidak adanya hasil audit resmi dari lembaga negara berwenang menghitung kerugian negara, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dalam kasus korupsi, bukti adanya kerugian negara dan dapat dihitung merupakan unsur pokok yang harus terpenuhi. “Tanpa perhitungan resmi dari BPK atau BPKP, maka unsur utama dari Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor tidak terpenuhi. Artinya, penetapan tersangka ini menjadi prematur dan cacat secara materiil,” ucap Dodi.
Tim kuasa hukum berpendapat, asumsi atau audit internal sementara tidak dapat dijadikan dasar hukum menuduh seseorang telah merugikan negara. Kejagung sebelumnya hanya menyatakan dari hasil audit sementara dan keterangan saksi internal kementerian hanya bersifat dugaan atau persepsi administratif, bukan bukti tindak pidana.
Argumentasi mengenai lemahnya bukti diperkuat dengan adanya dugaan pelanggaran prosedur hukum lainnya. Dodi menjelaskan, Nadiem tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Padahal SPDP merupakan surat pemberitahuan resmi kepada seseorang bahwa dirinya sedang dalam proses penyidikan, yang merupakan hak konstitusional terlapor untuk mempersiapkan pembelaan diri sejak dini.
Di sisi lain, Kejagung mengaku telah lebih dulu melakukan gelar perkara sebelum Nadiem ditetapkan sebagai tersangka. Itu berdasarkan nota dinas laporan hasil ekspos penyidikan dugaan tindak pidana korupsi Nomor R 127 tanggal 14 Juli 2025. Diketahui Nadiem ditetapkan sebagai tersangka pada 4 September 2025.
“Penyidik kemudian melaporkan perkembangan penyidikan perkara a quo berdasarkan nota dinas tanggal 3 September tahun 2025 hal laporan perkembangan penyidikan perkara tindak pidana korupsi pada Kementerian Pendidikan Budaya Rriset dan Teknologi Republik Indonesia dalam program digitalisasi pendidikan tahun 2019 sampai dengan 2022,” jelas Kejagung terpisah dalam sidang praperadilan yang diajukan Nadiem Makarim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025). (dan)