Nasional

Komisi XII Dorong Industri Sawit Terapkan TNFD & IFRS S2: Transparansi Global untuk Hentikan Deforestasi Masif

INDOPOSCO.ID – Anggota Komisi XII DPR RI Fraksi PKS, Ateng Sutisna, menyampaikan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup yang menyarankan masifnya konversi hutan menjadi kebun sawit. Menurut Ateng, langkah korektif bagi industri sawit tidak cukup berhenti pada sertifikasi ISPO maupun RSPO saja, melainkan harus melangkah lebih jauh dengan mengintegrasikan pelaporan berbasis Taskforce on Nature-related Financial Disclosures (TNFD-nature) dan International Financial Reporting Standard Sustainability 2 (IFRS-Climate S2).

“Aturan sertifikasi seperti ISPO dan RSPO memang penting untuk memastikan terjadinya perjalanan di tingkat operasional. Tetapi tantangannya saat ini adalah transparansi risiko finansial dan keterbukaan terkait dampak lingkungan. Di sini pelaporan TNFD dan IFRS S2 berperan melengkapi agar dunia usaha tidak hanya patuh, tetapi juga akuntabel secara global,” tegas Ateng dalam keterangan persnya, Jumat (29/8/2025)

Ia menjelaskan bahwa ISPO adalah regulasi nasional dan RSPO yang bersifat sukarela pada tingkat global memang menilai kegiatan operasional di luar negeri. Namun, penerapan TNFD dan IFRS S2 menambahkan lapisan keterbukaan finansial dan analisis risiko yang lebih mengikat, termasuk kewajiban untuk bergantung pada lokasi, target restorasi, dan skenario transisi. Dengan kombinasi itu, perusahaan sawit akan memiliki kapasitas lebih besar untuk mencegah konversi hutan secara masif sekaligus menjamin pemenuhan sertifikasi dengan eksposur finansial nyata.

Ateng mengingatkan bahwa data terbaru menunjukkan tren deforestasi yang kembali meningkat akibat ekspansi sawit. Sertifikasi seperti RSPO maupun ISPO memang terbukti dapat menekan laju deforestasi bila diterapkan secara konsisten dengan pengawasan independen, namun efektivitasnya masih bervariasi. Dalam konteks ini, pelaporan TNFD dan IFRS S2 dapat berfungsi sebagai mekanisme verifikasi tambahan sekaligus akuntabilitas yang lebih kuat bagi perusahaan.

Lebih jauh lagi, Ateng menekankan bahwa laporan berbasis TNFD dan IFRS S2 juga akan menjadi instrumen penting bagi lembaga keuangan dan investor. Informasi yang transparan memungkinkan bank menilai risiko kredit dan portofolio yang terkait dengan deforestasi, sehingga hanya perusahaan yang benar-benar menjaga prinsip nol-konversi yang akan memperoleh pembiayaan lebih menguntungkan. Sementara bagi perusahaan sawit itu sendiri, pelaporan TNFD dan IFRS S2 akan membantu mengelola risiko operasional, memprioritaskan pemulihan program, serta memperkuat reputasi dan akses ke pasar ekspor yang semakin ketat menuntut bukti-bukti keberadaannya.

Menurut Ateng, pemerintah dan regulator juga memiliki peran penting untuk menyinkronkan standar ISPO dengan prinsip-prinsip TNFD dan IFRS S2, misalnya dalam pengungkapan lokasi, target konservasi, serta memperkuat mekanisme pengawasan independen. Sementara itu, lembaga keuangan dan konsumen internasional diharapkan menerapkan uji tuntas berbasis pelaporan tersebut sebagai persyaratan pembiayaan dan pembelian, serta memberikan insentif harga dan akses pasar bagi praktik nol-konversi.

“Kalau kita bicara melampaui inovasi, maka sawit Indonesia harus bertransformasi. Tidak cukup hanya ISPO atau RSPO, tetapi juga harus menjawab standar transparansi global melalui TNFD dan IFRS S2. Dengan begitu, kita bisa menjaga ekonomi sawit tetap tumbuh tanpa harus menyumbangkan hutan dan keanekaragaman hayati bangsa,” pungkas Ateng. (dil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button