Nasional

3 Dimensi Pancasila Dinilai Jadi Solusi Holistik Lawan Kemiskinan

INDOPOSCO.ID – Di tengah gedung-gedung tinggi yang menjulang dan pusat perbelanjaan yang ramai, masih banyak keluarga di Indonesia yang berjuang sekadar untuk makan hari ini.

Selama ini, kemiskinan kerap dipotret hanya dari sisi angka, pendapatan per kapita, tingkat pengangguran, atau pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik gemerlap kota dan dinginnya statistik, tersimpan kenyataan yang jauh lebih pahit, yakni keretakan moral, lunturnya nilai, dan tata kelola yang kian abai terhadap kepentingan rakyat kecil.

Aktivis sekaligus cendekiawan Yudi Latif menegaskan bahwa kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipandang semata sebagai persoalan ekonomi. Menurutnya, kemiskinan juga merupakan cerminan dari krisis nilai dan ketidakadilan struktural yang mengakar dalam tata kelola negara.

“Nilai-nilai Pancasila harus diterapkan agar menjadi pedoman dalam mengatasi masalah-masalah tersebut,” jelas Yudi kepada INDOPOSCO usai mengikuti diskusi dengan tema “Merajut Kebersamaan Mewujudkan Merdeka dari Kemiskinan” di Jakarta, Rabu (13/8/2025).

“Pancasila itu dimensinya sangat luas. Sila pertama, kedua, dan ketiga menekankan nilai-nilai kehidupan, adab, dan budi pekerti. Sila keempat berbicara tentang tata kelola, bagaimana gotong royong itu diwujudkan dalam politik yang sejalan dengan nilai tersebut, bukan justru mengarah pada dominasi kekuatan individu. Sementara sila kelima berbicara tentang kesejahteraan,” sambungnya.

Ia menjelaskan, jika dicermati, Pancasila memiliki tiga dimensi utama yang saling terkait. Dimensi nilai terkandung dalam sila 1, 2, dan 3, yang menegaskan pentingnya moralitas, adab, dan persatuan.

“Dimensi tata kelola tercermin dalam sila keempat, yang mengatur bagaimana proses pengambilan keputusan politik harus mencerminkan musyawarah dan semangat gotong royong. Dimensi kesejahteraan, termuat dalam sila kelima, yang menuntut pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat” terangnya.

Menurut Yudi, pembangunan nasional harus memperhatikan ketiga dimensi tersebut secara holistik. Selama ini, ia menilai, fokus pembangunan terlalu berat pada indikator ekonomi seperti GDP per kapita atau pendapatan rata-rata, tanpa cukup memperhatikan kondisi moral dan etika masyarakat.

“Jangan hanya lihat GDP per kapita. Apa artinya pendapatan naik kalau di saat yang sama terjadi dekadensi moral dan kekacauan etika? Pada akhirnya, seluruh pencapaian ekonomi itu akan runtuh jika manusianya tidak lagi menjunjung tinggi etika,” tegasnya.

Bagi Yudi, solusi untuk mengatasi kemiskinan tidak cukup hanya melalui kebijakan ekonomi. Harus ada pendekatan menyeluruh yang menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila, memperbaiki tata kelola politik agar berpihak pada kepentingan bersama, dan memastikan kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat. (her)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button