Soroti ID Payment, DPR: Bukan Berarti BI Bebas Intip Transaksi, Pajak hingga Keamanan Data Pribadi

INDOPOSCO.ID – Anggaota Komisi XI DPR RI, Amin Ak, menegaskan bahwa Bank Indonesia (BI) tidak boleh serta merta mengintip lebih dalam kegiatan transaksi masyarakat melalui penerapan sistem Payment ID.
Hal itu diutarakannya dalam menyoroti kekhawatiran masyarakat bahwa sistem ini akan melanggar.ruang privasi.
“Payment ID tidak otomatis membuat Bank Indonesia bisa melihat semua detail pendapatan, belanja, pajak, atau investasi setiap orang,” kata Amin dalam keterangannya yang diterima INDOPOSCO.ID, Rabu (13/8/2025).
“Yang direkam dalam sistem hanyalah identitas pembayaran dan data transaksi yang relevan untuk fungsi pengaturan dan pengawasan sistem pembayaran,” sambungnya.
Sepengetahuan dirinya, Payment ID memang menghubungkan seluruh instrumen pembayaran yang dimiliki seseorang. “Tapi hal itu sekali lagi bukan berarti Bank Indonesia atau pihak lain bisa bebas mengintip saldo, detail belanja, atau catatan pajak warga,” cetusnya.
Ia menjelaskan, data yang diakses dari Payment ID hanya yang relevan untuk fungsi pengaturan dan pengawasan sistem pembayaran, misalnya deteksi fraud atau pencegahan pencucian uang, dan itu pun diatur ketat oleh UU P2SK, UU Perlindungan Data Pribadi, dan mekanisme hukum yang berlaku.
“(Sehingga) jika ada kebutuhan akses detail keuangan seseorang, misalnya untuk kepentingan penegakan hukum atau perpajakan itu hanya bisa dilakukan oleh lembaga yang berwenang dan melalui mekanisme hukum yang jelas, bukan oleh BI secara sepihak,” tegasnya.
Ia pun berharap dengan penerapan Payment ID, maka efektivitas perlindungan data pribadi juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Risiko kebocoran data meningkat karena Payment ID terhubung ke banyak akun, termasuk data nomor induk kependudukan (NIK).
“Tantangan lain yang juga mendesak dilakukan adalah penguatan regulasi dan keamanan dengan penerapan Know Your Customer (KYC) dan Anti-Money Laundering (AML). KYC dan AML adalah langkah penting dalam pencegahan kejahatan keuangan,” serunya.
Menurutnya, KYC melibatkan verifikasi identitas pelanggan saat membuka rekening dan memperbarui data secara berkala. Sedangkan, AML fokus pada deteksi, pencegahan, dan pelaporan aktivitas mencurigakan, seperti pencucian uang dan pendanaan terorisme.
“Selain itu infrastruktur digital yang masih timpang antar daerah juga menjadi tantangan serius. Wilayah dengan konektivitas internet rendah akan kesulitan memanfaatkan sistem ini,” ungkapnya.
Jika tidak diawasi ketat, ujar Amin, maka ada potensi kebocoran data atau penyalahgunaan. “Karena itu, kami di DPR RI memastikan bahwa pengawasan, audit, dan perlindungan data harus berjalan seiring dengan pengembangan teknologi ini,” ujarnya.
“Payment ID juga wajib diperkuat dengan keamanan transaksi pembayaran. Sistem harus mengintegrasikan dengan sistem verifikasi biometrik dan OTP untuk mencegah penipuan,” tambahnya.
Meski begitu, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini tetap memandang sLada sisi positif dari penerapan Payment ID
“Positifnya, Payment ID akan membuat transaksi lebih praktis, mengurangi risiko penipuan, dan membantu inklusi keuangan. Kemudahan Akses karena cukup satu ID untuk semua akun pembayaran. Selain itu juga bisa meminimalkan kesalahan input nomor rekening,” ujarnya.
Kemudian lainnya, ujar Amin, sistem pembayaran atau transaski keuangan menjadi lebih efisien karena transfer dana lebih cepat, tanpa perlu mengetahui detail bank penerima. Juga mengurangi biaya transaksi antar bank.
“Sistem pembayaran berdasarkan identitas tunggal ini juga sejalan dengan prinsip inklusi keuangan. Sehingga memudahkan masyarakat yang belum memiliki rekening bank untuk masuk ke ekosistem digital. Selain itu juga bisa mendukung UMKM dalam menerima pembayaran lebih praktis,” tuturnya.
Oleh karena itu, untuk menjawab kehawatiran masyarakat, kata Amin Ak, tentunya BI harus melakukan sosialisasi secara massif.
“Istilah semua transaksi bisa dilihat’ perlu diluruskan. Ini menjadi tugas mendesak bagi Bank Indonesia melakukan sosialisasi dan eduksi secara masif kepada masyarakat sebelum system ini diterapkan,” ujarnya.
“Sistem pembayaran terintegrasi ini baru akan diterapkan pada tahun 2030 mendatang. Jadi ada waktu sekitar 5 tahun lagi untuk menyiapkan implementasinya,” pungkasnya menambahkan. (dil)