Soal Angka Kemiskinan Versi BPS, Celios Khawatir Kelompok Rentan Tak Terjaring Bansos

INDOPOSCO.ID – Lembaga riset, Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai, metode penghitungan angka kemiskinan yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tidak relevan dengan realitas di lapangan. Sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa kelompok rentan tidak menerima bantuan sosial (bansos).
BPS mencatat, jumlah penduduk miskin ekstrem pada Maret 2025 sebanyak 2,38 juta orang atau turun sebanyak 0,40 juta orang dibandingkan September 2024. Bila membandingkan dengan Maret 2024, jumlah penduduk masuk kategori miskin ekstrem telah turun 1,18 juta orang.
Penurunannya hanya 0,1 persen, poin menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah menurunkan angka kemiskinan semakin berkurang. Banyak masyarakat keluar dari garis kemiskinan, namun dalam waktu bersamaan, jumlah orang jatuh miskin kembali atau menjadi miskin baru juga tinggi.
Berdasarkan laporan terbaru World Bank, sekitar 68,2 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional, atau setara dengan 194,4 juta jiwa. Angka itu sangat berbeda dengan data resmi BPS mencatat hanya 8,57 persen atau 24,06 juta orang yang dikategorikan miskin.
Meski metodologi keduanya berbeda, disparitas sebesar delapan kali lipat itu menunjukkan, dinilainya ada masalah dalam cara mendefinisikan kemiskinan.
BPS sudah hampir 5 dekade menggunakan pendekatan pengukuran kemiskinan dengan berbasiskan pengeluaran serta variabel, yang tidak banyak berubah dan tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi.
Menurut Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, pengukuran data kemiskinan BPS yang tidak lagi relevan tersebut diperburuk sistem pendataan yang mensyaratkan penerima bansos harus terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
“Jika garis kemiskinan terlalu rendah, maka otomatis banyak masyarakat rentan yang tidak terjaring ke dalam kategori masyarakat miskin sesuai data DTKS dan akhirnya tidak menerima bantuan sosial apa pun,” ujar Media dalam keterangannya, di Jakarta, Sabtu (26/7/2025).
Bahkan dampak dari metodologi yang usang BPS itu berpengaruh langsung pada kebijakan anggaran dan perlindungan sosial. Bisa saja Anggaran perlindungan sosial (perlinsos) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dikurangi.
“Dengan jumlah penduduk miskin yang kecil versi data pemerintah, maka alokasi anggaran perlindungan sosial dalam RAPBN 2026 juga berpotensi ditekan atau tidak akan mengalami peningkatan signifikan,” ucap Media.
Padahal, di luar subsidi BBM, persentase anggaran perlinsos Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 1 persen, dan menjadi salah satu yang terendah di Asia.
“Indonesia masih tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang telah mengalokasikan lebih dari 5 persen PDB untuk perlindungan sosial,” imbuhnya. (dan)