Nasional

Kuasa Hukum Jokowi Sebut Bisa “Chaos” Jika Ijazah Asli Ditunjukkan ke Publik, Roy Suryo: Lucu, Ada Logika Srimulat “Belok Kiri tapi Sein Kanan”

INDOPOSCO.ID – Kuasa hukum Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo, Yakup Hasibuan, menyebutkan bahwa ijazah Jokowi tidak ditunjukkan ke publik karena dapat menimbulkan kekacauan dan menjadi preseden buruk. Hal inipun direspon oleh pakar telematika Roy Suryo sebagai logika yang lucu dan seperti grup lawak Srimulat.

Menurut Roy, selain materi yang dibawakannya lucu, hal lain yang dijual oleh grup legendaris Indonesia yang didirikan oleh Teguh Slamet Rahardjo pada tahun 1950 di Surakarta ini adalah keikhlasan para pemainnya. Istilah khas yang dimaksud ada beberapa corak, di antaranya adalah penampilan, gaya bicara, dan kalimat-kalimat yang menjadi trade mark seorang pemain.

Sebut saja Asmuni dengan kalimat “Hil yang mustahal” dan “Tunjep poin” (maksudnya hal yang mustahil dan to the point). Pelawak lain seperti Mamiek Prakoso terkenal dengan kalimat “Mak bedunduk”, dan “Mak jegagik” (sekonyong-konyong atau tiba-tiba). Begitu mereka keluar di panggung sebenarnya kita sudah dapat menebak mulai gaya, intonasi bicara sampai kosakata yang diucapkan.

Ciri khas Srimulat lainnya adalah sering menggunakan logika terbalik untuk menerangkan maksudnya, misalnya kata “bahaya” yang seharusnya serius (karena sifatnya berbahaya) namun dikatakan “bahahahaya” sehingga terkesan malah lucu atau kocak. Logika terbalik ini juga bisa berarti bila maksudnya belok kiri, namun malah sein kanan atau sebaliknya.

“Nah, demikian juga kalau ada pendapat bahwa bila jika ada ijazah asli yang ditunjukkan, bisa membuat chaos di masyarakat. Karena seharusnya yang bisa jadi Chaos sebenarnya adalah justru jika ijazah tersebut malahan terbukti memang palsu,” kata Roy dalam tulisannya yang diterima INDOPOSCO.ID, Senin (16/6/2025).

Secara definitif, ucap Roy, kata chaos ini berasal dari bahasa Yunani “khaos”, yang berarti “kekacauan”, “keadaan tanpa tatanan”, atau “ketidakteraturan total”. Dalam bahasa Indonesia, kata chaos ini sering digunakan untuk menggambarkan suasana ricuh, tidak terkendali, atau kacau balau.

“Bisa juga kondisi sosial atau politik yang tidak stabil atau keadaan saat aturan tidak diikuti atau ketika otoritas kehilangan kendali. Jadi kalau kemudian disebut bahwa jika hanya gara-gara menunjukkan ijazah asli dikhawatirkan dapat membuat chaos, maka tentu saja ini masuk sebagai logika terbalik Srimulat, alias hil yang mustahal,” tuturnya.

Juga secara legal, ujar Roy, istilah chaos tidak disebutkan secara eksplisit dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) atau undang-undang lainnya.

Namun, konsep kekacauan atau kerusuhan diatur dalam beberapa pasal KUHP dan undang-undang lain dengan istilah seperti perbuatan yang menyebabkan kekacauan umum / huru-hara.

“Sehingga jelas jika hanya sekadar menunjukkan ijazah asli ke masyarakat tentu tidak otomatis menyebabkan chaos, kecuali jika (sekalilagi) Ijazah tersebut ternyata benar-benar terbukti palsu dan ada kesengajaan memang mau disembunyikan dari publik,” jelasnya.

Soal Keterbukaan Informasi Publik ini sendiri, ujar Roy, sebenarnya sudah diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) No 14 tahun 2008 yang disahkan 30/04/2008 dan mulai berlaku dua tahun sesudahnya.

Meski sering digunakan sebagai alasan “dikecualikan” di Pasal 17 huruf h untuk tidak menampilkan ijazah, namun jelas di Pasal 18 ayat 2 sangat jelas tersurat “Tidak termasuk informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf g dan huruf h, antara lain apabila (b) Pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik”.

“Sehingga di sini sangat jelas bahwa Ijazah JkW yang pernah digunakan dalam dua kali Pilwalkot Surakarta, satu kali Pilkada DKI Jakarta dan dua kali Pilpres adakah digunakan untuk Jabatan Publik (Public Accountabilities / Public Transparancy),” tanya Roy.

Apalagi, ucap mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) ini, jika diingat apa yang dilakukan masyarakat mempertanyakan soal ijazah ini sesuai dengan Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi: “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” alias Informasi dapat diperoleh dan disebarkan melalui berbagai media, baik media tradisional maupun media baru.

Pasal ini menjadi dasar bagi upaya keterbukaan informasi di Indonesia, seperti yang tercermin dalam UU No 14 Tahun 2008 tentang KiP yang dijelaskan diatasnya. Artinya secara keseluruhan, Pasal 28F UUD 1945 menegaskan pentingnya informasi dan komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta memberikan jaminan perlindungan hak-hak tersebut bagi setiap warga negara.

“Maka sangat lucu, meski kalau ini bukan lucunya Srimulat lagi, kalau ada Masyarakat kritis yang mempertanyakan keaslian Ijazah seorang brkas pejabat publiknya yang pernah berkuasa malah dikriminalisasi dan dianggap mengganggu keamanan negara, ini sangat ambyar,” imbuhnya.

“Kesimpulannya, pendapat (kuasa hukum Jokowi) yang mengatakan jika ijazah asli ditunjukkan ke masyarakat bisa membuat chaos ini jelas menjadi bahan tertawaan masyarakat Indonesia yang masih Waras. Makin terbuka lagi Kotak Pandora yang berisi kebohongan dan hal-hal lucu atau aneh lainnya di Kasus ijazah palsu ini. Time will tell, bukan “Tok the tok not only tok”, ” tutupnya.

Kuasa hukum Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo, Yakup Hasibuan, menyebutkan bahwa ijazah Jokowi tidak ditunjukkan ke publik karena dapat menimbulkan kekacauan dan menjadi preseden buruk.

Yakup khawatir, bila ijazah Jokowi ditunjukkan, akan ada banyak pihak-pihak lain yang dituduh dalam perkara lain dan dipaksa untuk membantah tuduhan yang mereka terima.

“Bayangkan semua yang dituduh, dipaksa untuk menunjukkan ijazahnya. Ini bisa terjadi kepada siapapun, kepada kepala daerah manapun, kepada anggota DPR manapun, kepada masyarakat sipil manapun. Bayangkan kalau itu terjadi, kan negara ini chaos,” kata Yakup dalam konferensi pers di Senayan, Jakarta, Minggu (15/6/2025).

Padahal, Yakup menjelaskan, semestinya pihak yang menuduh yang mampu membuktikan tuduhannya, bukan sebaliknya.

Oleh karena itu, kubu Jokowi memilih untuk membuktikan ijazah aslinya lewat jalur hukum. “Negara ini adalah negara hukum, siapa yang mendalilkan, dia harus membuktikan. Itu kan salah satu asas-asas yang harus diperhatikan dalam hukum,” kata dia. Alasan kedua, jika ditunjukkan ke publik, apakah publik langsung mengerti mana ijazah asli dan mana ijazah yang palsu. Hal ini juga pernah disampaikan Yakup kepada pihak yang menuduhkan ijazah Jokowi palsu. (dil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button