Nasional

Pengamat Ingatkan Pemerintah Indonesia Terapkan Diplomasi Tawar-menawar Bukan Minta-Minta

INDOPOSCO.ID – Indonesia seperti toko kelontong global yang masih berkutat di zona nyaman. Bak negeri Zamrud yang memiliki berlian sebesar kepalan tangan, namun menjualnya ke tetangga seharga batu kali.

Pernyataan tersebut diungkapkan Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R. Haidar Alwi menanggapi banyaknya sumber daya alam (SDA) milik Indonesia yang dikelola negara asing, Kamis (29/5/2025).

Ia mengungkapkan, bahan baku dari Indonesia ini kemudian diolah negara tetangga dan menjualnya dengan harga 1.000 kali lipat.

“Welcome to Indonesia. Negeri yang dianugerahi kekayaan alam melimpah ini masih setia pada peran lamanya. Eksportir bahan mentah kelas kakap, sambil memborong produk jadi dari negara lain dengan bangga,” katanya.

Ia menuturkan, negara-negara mitra dagang dengan senang hati memainkan peran mereka, seperti China yang dijuluki si pembeli yang baik hati. China sahabat karib Indonesia yang selalu siap menampung batubara dan nikel mentah Indonesia.

Nikel di Morowali yang dikuasi China, nyatanya Indonesia hanya mendapat 5 persen dari nilai tambah rantai baterai global, sementara China menguasai 77 persen pasar baterai EV dunia.

“Kita seperti pedagang pasar yang ramah, tetapi diam-diam menyimpan kalkulator di balik senyumnya. Di Morowali, mereka membangun smelter nikel terbesar di dunia, tapi teknologi pengolahan baterai litium tetap dirahasiakan seperti resep mie ayam,” terangnya.

“Satirnya, Indonesia pemilik tambang, China arsitek yang membangun rumah megah di atas tanah kita, dan kita cuma melongok dari luar pagar,” imbuhnya.

Belum lagi, dikatakan dia, Jepang dan Korea Selatan yang dijuluki mitra dengan “Tangan Terkunci”. Jepang dan Korea Selatan paham betul seni memberi tapi tak memberi. Mereka berinvestasi di pabrik baterai EV, tapi mesin pencampur bahan kimia kunci tetap diimpor dari Osaka dan Seoul.

“Alhasil, kita jadi buruh murah di pabrik sendiri. Satirnya, Indonesia seperti murid yang diberi kalkulator, tapi tak diajari rumus matematika,” ungkapnya.

Selanjutnya, masih ujar Haidar, Singapura, negara kecil yang menjadi makelar global. Dari data, mereka tak mempunyai tambang, tapi menguasai 30 persen perdagangan batubara Asia via pelabuhan mereka. Begitu pula 40 persen ekspor minyak sawit Indonesia dilewatkan dulu ke Singapura, baru dijual ke Eropa dengan harga lebih tinggi.

“Singapura ibarat calo tanah yang mengambil untung dari ketidaktahuan pemilik,” ucapnya.

Begitu juga dengan Amerika Serikat dan Australia, mereka gemar menggembar-gemborkan net-zero emission, tapi diam-diam tetap borong batubara Indonesia. Pada 2022, ekspor batubara Indonesia ke AS naik 15 persen. Sementara ekspor batubara Australia ke China justru naik 18 persen sepanjang 2022.

“Di AS impor minyak kelapa sawit mereka justru naik 20 persen sejak 2020. Dan Australia seperti teman kantor yang mengajak diet, tapi diam-diam makan siang di restoran fast food,” ujarnya.

Dia menyarankan Indonesia harus meniru negara Turki dengan mewajibkan perusahaan asing membangun pabrik R&D, jika ingin mengeksplorasi lithium. Begitu pula Indonesia harus merubah diplomasi dari minta-minta menjadi tawar-menawar.

“Indonesia bisa meniru Turki, jika tak ada transfer teknologi, tak ada izin ekspor.
Pertanyaannya. Maukah kita berhenti jadi tukang tambang dan mulai jadi arsitek peradaban? Atau tetap bangga disebut “Negeri Kaya Raya” sambil gigit jari lihat negara lain mengolah kekayaan kita?” ungkapnya. (nas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button