DPR Desak Perjanjian Bilateral dengan Saudi, Legislator: Kekerasan PMI Jangan Berulang

INDOPOSCO.ID – Dewan Perwakilan Rakyat Reppublik Indonesia (DPR RI) mendesak pemerintah untuk membuat perjanjian bilateral dengan Arab Saudi sebelum mencabut moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI).
“Perjanjian bilateral ini penting untuk menghindari terulangnya kasus kekerasan dan ketidakadilan yang dialami para pekerja migran Indonesia (PMI) di sana,” ungkap Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher, melalui gawai, Sabtu (3/5/2025).
Ia mengingatkan pemerintah belajar dari pengalaman pahit yang menjadi dasar diberlakukannya moratorium pada 2015 lalu.
“Mencabut moratorium tanpa landasan perjanjian bilateral yang kuat sama saja melepas anak bangsa ke lubang eksploitasi,” tegasnya.
“Jangan ulangi sejarah kelam di mana PMI kita diperlakukan semena-mena tanpa pelindungan hukum yang memadai,” sambungnya.
Sejak moratorium diberlakukan pada 2015, ujar Netty, banyak catatan kasus kekerasan, penyiksaan, bahkan kematian terhadap pekerja domestik asal Indonesia di Arab Saudi.
Ia mempertanyakan nasib Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) yang sebelumnya disepakati antara Indonesia dan Arab Saudi.
“Kalau SPSK mau dihapus atau diubah, mana kajian resminya? Bagaimana evaluasi pelaksanaannya? Jangan sampai kita kembali membuka ruang praktik ilegal, calo, dan perdagangan manusia terselubung,” tuturnya.
Menurut legislator dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini pencabutan moratorium harus diiringi dengan komitmen nyata dari pemerintah Arab Saudi melalui perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban kedua negara secara setara.
“Kita bukan mengirim mesin. Kita mengirim manusia, sebagiannya berstatus ibu dari anak-anak, tulang punggung keluarga, warga negara yang punya hak untuk dilindungi,” ujarnya.
Lebih jauh Netty mengungkapkan, perjanjian bilateral yang dimaksud harus memuat beberapa hal pokok penting. Seperti standar pelindungan hak asasi PMI, termasuk jam kerja yang manusiawi, tempat tinggal layak, dan jaminan kesehatan.
“Perjanjian juga harus mengakomodir mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan cepat. Akses ke layanan bantuan hukum serta kepastian sistem perekrutan yang transparan dan bebas dari praktik percaloan,” ucapnya. (nas)