Presdiential Threshold Dihapus, Partai Buruh Minta Tak Perlu Revisi UU Pemilu Batasin Jumlah Capres
INDOPOSCO.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen. Putusan ini pun ditanggapi oleh Komisi II DPR RI dengan berencana merevisi Undang-Undang Pemilu. Menyikpi hal ini, Partai Buruh menyatakan penegasannya menolak wacana revisi UU tersebut.
“Ide mengubah aturan pencalonan presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemlihan Umum (UU Pemilu) tidak tepat. Sebab, tidak ada perintah MK untuk merevisi aturan pencalonan presiden oleh partai politik, dan tidak pula terjadinya kekosongan hukum akibat putusan tersebut,” kata Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh Said Salahudin, dalam keterangan persnya yang diterima indopos.co.id, Rabu (8/1/2025).
Menururtnya, tidak ada urgensi mengubah aturan pencalonan Presiden dalam UU Pemilu pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024, kecuali UU Pemilu memang harus diubah untuk merevisi aturan lain yang tidak demokratis.
Sedangkan, ucap Said, ketika MK mengatakan Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur presidential threshold inkonstitusional, maka tidak ada tafsir lain kecuali semua partai politik yang nantinya ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2029 boleh mengusulkan capres-cawapres dengan cara berkoalisi atau tanpa koalisi.
“Ini sudah sangat ‘clear’. Tentang keberadaan Pasal 222, sudah mati dia. Tidak berlaku lagi. Ketidakberlakuan norma tersebut juga sama sekali tidak berdampak pada pengaturan lain dalam UU Pemilu. Jadi apa yang perlu direvisi?” tanyanya.
Ia menerangkan,sangat keliru kalau gagasan mengubah aturan pencalonan Presiden didasari pada pertimbangan MK soal rekayasa konstitusional untuk pembatasan jumlah calon presiden dan wakil presiden pasca PT 20 persen itu dihapus.
“Itu juga keliru. Perubahan aturan pencalonan Presiden yang dibuka ruangnya oleh MK dan constitutional engineering yang disebutkan oleh MK, itu seharusnya didudukkan dalam dua konteks yang berbeda,” terangnya.
Kata Said, ruang mengubah aturan pencalonan Presiden dibuka MK dalam konteks mengantisipasi jumlah capres yang terlalu banyak. Dalam putusannya MK mengatakan kalau mau merevisi aturan pencalonan, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak.
“Dari rumusan itu terlihat bahwa MK hanya memberikan opsi mengenai revisi aturan pencalonan yang ditunjukan dengan kata “dapat” atau bersifat fakultatif. Jadi itu bukan perintah yang bersifat imperatif,” terangnya.
Mengenai kekhawatiran jumlah capres-cawapres akan sangat banyak di Pilpres 2029, menurut Said, hal itu tidak perlu menjadi kerisauan.
Ia pun menjelaskan empat alasan kenapa jumlah capres harus dibebaskan untuk diajukan oleh setiap parpol peserta pemilu.
“Pertama, secara empiris sudah dibuktikan di Pilpres 2004, misalnya. Saat itu Pilpres hanya diikuti oleh 5 pasangan dari semestinya bisa memunculkan 10 pasangan capres-cawapres. Hal ini terjadi karena adanya semangat berkoalisi diantara partai-partai politik,” ujarnya.
Kedua, kata Said, oleh karena ada dua jabatan yang dipilih, yaitu jabatan Presiden dan Wakil Presiden, maka secara logis akan muncul semangat berkoalisi diantara partai politik. Oleh sebab itu, jumlah pasangan calon hampir dapat dipastikan tidak akan lebih dari separuh jumlah partai peserta Pemilu.
Ketiga, besarnya biaya pencalonan khususnya untuk kepentingan kampanye berkeliling Indonesia menyebabkan partai politik yang mempunyai keterbatasan dana secara rasional akan membatasi hasratnya untuk mengusung sendiri capres-cawapres.
“Dam keempat, tidak meratanya kekuatan partai politik di daerah dan beragamnya aliran politik di masyarakat sudah barang tentu akan membuat banyak parpol berpikir dua kali untuk memajukan capres sendiri,” pungkas Said. (dil)