Ada Kekeliruan Legalitas di Kasus Korupsi Tata Niaga Timah Senilai Rp 300 Triliun, Ini Penjelasannya
INDOPOSCO.ID – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan dugaan korupsi Tata Niaga Timah dengan terdakwa petinggi CV Venus Inti Perkasa (VIP) Thamron alias Aon Cs, Kamis (21/11/2024).
Dalam sidang tersebut Ahli Hukum Keuangan Negara Universitas Indonesia, Dr. Dian Puji Simatupang, SH., MH dan Ahli Hukum Administrasi Negara dan Tata Negara Universitas Pancasila, Dr. Rocky Marbun, SH., MH sepakat ada kekeliruan legalitas dan prinsip dalam Kasus Korupsi Timah dengan kerugian Rp 300 Triliun tersebut.
Dian menjelaskan prinsip-prinsip dasar negara hanya menerima sesuatu yang bersifat sah sesuai aturan, baik berupa PNBP, pajak, atau iuran yang telah melalui prosedur resmi, dicatat dalam DIPA, dan masuk APBN.
“Apabila dianggap ilegal, maka harus ada bukti dan mekanisme hukum untuk mengembalikannya, termasuk pencabutan dari APBN. Dan segala aktivitas ekspor dari PT Timah pun harus dinyatakan tidak sah karena berasal dari aktivitas tidak sah,” kata Dr. Dian Puji Simatupang, SH., MH saat memberi keterangan di PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).
Dian menyatakan dalam kasus pertambangan ilegal, meskipun terdapat pemasukan ke negara, status legalitasnya jadi tidak jelas.
“Jika terbukti ilegal, negara berpotensi menghadapi konsekuensi hukum, seperti pengembalian dana, denda, atau bunga sesuai Pasal 3 Ayat 7 UU Keuangan Negara. Oleh karena itu, penilaian kerugian negara harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan data nyata,” imbuhnya.
Tak hanya itu, Dian menuturkan, PT Timah adalah anak perusahaan BUMN dan bukan BUMN, jadi tak ada kaitannya dengan kerugian negara. Lagipula yang berhak menentukan kerugian negara adalah BPK bukan BPKP.
Dikatakan perdebatan tak akan terjadi jika semua pihak sepakat bahwa kewenangan pemeriksaan dan penilaian kerugian negara hanya dimiliki oleh BPK.
“Saya telah menelusuri, dan satu-satunya dasar hukum yang jelas adalah Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang BPK, yang menyatakan bahwa BPK memiliki kewenangan untuk menilai kerugian negara. Saya hanya berpegang pada aturan, Yang Mulia. Jika ada satu saja undang-undang yang menyatakan BPKP memiliki kewenangan untuk menilai dan menghitung kerugian negara dalam konteks ini, saya akan langsung setuju dan berhenti berdebat,” sambungnya.
Ia mengatakan, sejauh ini, kewenangan BPKP hanya diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yaitu untuk pencegahan kerugian negara melalui administrasi, bukan untuk penghitungan kerugian negara.
“Hal ini juga tidak diatur dalam PP 60 Tahun 2008. Maka, saya menunggu bukti konkret yang menyatakan BPKP memiliki kewenangan tersebut,” pungkasnya.