Nasional

Usai Aksi Awal Reformasi 98, Malam Nginep di Kremlin dan Guntur

INDOPOSCO.ID – Mahasiswa dan militer di era awal reformasi 1998 memiliki hubungan antagonis. Bahkan hubungan tersebut telah terjadi sejak konstelasi politik di pertengahan 1960-an. Banyak saksi dari kalangan mahasiswa bagaimana keras hubungan tersebut di awal reformasi 1998. Salah satunya Sugeng Suparwoto.

Kali ini, indopos.co.id berkesempatan berbincang-bincang dengan Sugeng Suparwoto di ruang kerja Ketua Komisi VII DPR RI. Penampilan pria yang pernah ditunjuk menjadi Pemimpin Redaksi Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan sejumlah media televisi serta media cetak ini nampak sederhana. Ia mengenakan setelan pakaian dibalut jas berwarna biru.

Di awal reformasi saat itu, Sugeng Suparwoto didapuk menjadi Ketua Presidium Badan Koordinasi Mahasiswa Jakarta (1988-1990). Ia menjadi bagian dari mahasiswa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang sekarang bernama Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

“Saat itu (awal reformasi) saya kalau ngampus (kuliah) selalu bawa tas kecil isinya handuk, sabun dan sikat gigi,” ujar Sugeng kepada INDOPOSCO, belum lama ini.

Ia menuturkan, saat awal reformasi aksi mahasiswa terjadi di mana-mana. Tak sedikit usai melakukan aksi, mahasiswa harus berurusan dengan petugas keamanan dan dibawa ke Guntur.

“Usai demo, datang tuh Kramat Lima (Kremlin). Lalu datang pembantu dekan atau pembantu rektor III, kami dipanggil. Habis itu kami ditahan di Kremlin atau di Guntur,” kata pria yang saat ini dipercaya menjadi Ketua Komisi VII DPR RI sembari mengenang masa itu.

“Kita nginep di sana. Kadang di Tebet, semalaman kita ngobrol. Mereka hanya bertanya, di sana ada demo siapa orangnya,” imbuhnya.

Deklarator dan Pendiri Ormas Nasional Demokrat 2010 ini menuturkan, hampir setiap saat selalu diikuti oleh petugas intel. Seolah-olah, Legislator dari Fraksi Partai NasDem ini dianggap berbahaya di awal reformasi.

“Kemana-mana selalu diikuti intel. Seolah-olah saya itu berbahaya sekali,” ucapnya diiringi gelak tawa.

Pria yang genap berusia 62 tahun pada April lalu ini berpesan, setiap perjalanan hidup harus menjadikan pendewasaan diri. Dan tidak menjadikan dirinya besar kepala.

“Perjalanan hidup jangan membuat kita besar kepala,” ucap pria yang pernah didapuk menjadi Ketua Senat Mahasiswa IKIP/UNJ (1986-1988) ini sembari mengakhiri ceritanya. (nas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button