Qodari Nilai Judicial Review Percepatan Pelantikan Presiden Terpilih 2024 Ditolak MK

INDOPOSCO.ID – Masa transisi dari pemerintahan Jokowi ke presiden terpilih Prabowo Subianto akan menimbulkan instabilitas. Sebab, masa pelantikan presiden terpilih Pemilu 2024 terlalu lama.
Pernyataan tersebut diungkapkan penggugat judicial review Audrey G Tangkudung di Jakarta, Selasa (21/5/2024). Ia mengatakan, judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) semata-mata agar presiden terpilih pemilu 2024 bisa segera dilantik.
“Kami ingin presiden terpilih Prabowo Subianto segera dilantik, jangan menunggu sampai 20 Oktober nanti. Karena bisa menimbulkan instabilitas,” ujarnya.
“Apalagi, saat ini kita tengah dihadapkan pada krisis global. Jadi pelantikan cepat presiden terpilih ini untuk menjamin ekonomi dan keamanan nasional,” imbuhnya.
Lebih jauh ia mengungkapkan, dasar pengajuan judicial review ke MK tak semata pada hasil pemilu 2024 saja. Namun juga untuk pemilu-pemilu berikutnya.
“Jadi dasar pemikiran kami bukan semata-mata hasil pemilu sekarang, tapi untuk ke depan,” katanya.
“Kalau saja peralihan dari presiden terpilih satu arah politik tidak masalah, tapi kalau berbeda arah politik ini rentan instabilitas,” imbuhnya.
Menanggapi hal itu, Founder Indo Barometer Muhammad Qodari mengapresiasi pengajuan judicial review percepatan pelantikan presiden terpilih pemilu 2024 ke MK. Namun ia meyakini upaya hukum tersebut bakal ditolak oleh MK.
“Harus ada dasarnya, pemerintah sekarang bermasalah atau tidak? Angkat masalah yang muncul. Sementara pemerintah kita kan baik-baik saja. Baik di bidang keamanan hingga ekonomi,” katanya.
Ia menjelaskan, dalam konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) telah diatur bahwasanya masa jabatan presiden adalah 5 tahun. Dan itu sudah ditetapkan oleh peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 20 Oktober nanti.
“Kalau saya jadi hakim MK, maka judicial review ini saya tolak. Karena masa jabatan presiden sekarang sampai 20 Oktober mendatang,” jelasnya.
Ia menambahkan, lahirnya masa transisi pemerintahan pascapemilu salah satunya disebabkan oleh pelaksanaan pemilu serentak Pileg dan Pilpres. Selain juga diatur oleh KPU dalam UU No 7 Tahun 2017 terkait pemenang pemilu 50 persen plus 1.
“Ini yang harus diubah, karena menyebabkan pemilu 1 putaran dan 2 putaran. Sebab, pemilu 2 putaran berpotensi melahirkan polarisasi,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Juru Bicara Partai Demokrat Imelda Sari mengatakan, UU KPU terkait pelaksanaan pemilu serentak harus dikaji ulang. Sebab, fokus partai politik (Parpol) menjadi terbelah.
“Kami di partai fokusnya terbelah-belah. Fokus ke TKN dan caleg harus dibagi-bagi,” katanya.
Terkait percepatan pelantikan presiden terpilih pemilu 2024, ia menjelaskan, bahwasanya konstitusi telah mengatur masa jabatan presiden. Sehingga upaya judicial review sangat besar ditolak oleh MK.
“Dulu pernah ada upaya judicial review terkait Pasal 416 ayat (1) UU No 7 Tahun 2017 tentang pemenang pemilu harus 50 persen plus 1, tapi itu ditolak oleh MK,” katanya. (nas)