Tafsir MK soal Tapera, Momentum Perbaikan Tata Kelola Pembiayaan Perumahan

INDOPOSCO.ID – Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) angkat suara terkait Tapera.
Mereka mengajukan uji materi UU No. 4/2016 ke Mahkamah Konstitusi karena menilai kewajiban kepesertaan Tapera memberatkan buruh dan pekerja mandiri.
Keresahan kaum buruh tersebut telah dijawab oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024. MK memutus perkara yang bergulir sejak Agustus 2024 itu pada akhir September setelah menggelar sederet persidangan, mulai dari mendengarkan keterangan saksi, ahli, DPR, pemerintah, hingga Badan Pengelola (BP) Tapera.
Dalam amar putusan, Mahkamah mengabulkan permohonan KSBSI. MK pun menyatakan UU Tapera inkonstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 jika tidak dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama dua tahun.
UU Tapera dibatalkan secara keseluruhan karena Pasal 7 ayat (1), selaku pasal jantung (core norm), dinyatakan tidak sejalan dengan amanat konstitusi. Pasal dimaksud pada pokoknya mewajibkan setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan minimal sebesar upah minimum menjadi peserta Tapera.
Menyoal “wajib”
Sebagaimana namanya, Tapera pada hakikatnya merupakan tabungan. Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, tabungan merupakan salah satu bentuk simpanan yang penarikannya tunduk pada syarat-syarat yang disepakati para pihak. Dengan begitu, unsur kesukarelaan dan persetujuan menjadi fondasi penting dalam pembentukan hukum dan konteks penyimpanan dana.
Pada faktanya, Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan ataupun dikembalikan hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.
Tapera, menurut MK, juga bukan termasuk dalam unsur pungutan resmi yang diatur dalam Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945. Adapun pungutan resmi yang diatur undang-undang, misalnya adalah retribusi, bea masuk, cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Penyematan istilah “tabungan” dalam program Tapera menimbulkan persoalan bagi pekerja karena adanya unsur paksaan dengan meletakkan kata “wajib” dalam Pasal 7 ayat (1). Oleh karena itu, MK menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa.
Lebih jauh, pasal jantung itu dinilai MK tidak sejalan dengan tujuan utama UU Tapera. Negara, sebagaimana termaktub dalam penjelasan bagian umum UU tersebut, ditempatkan sebagai penanggung jawab utama penyediaan rumah layak huni bagi warganya.
Norma yang mewajibkan setiap pekerja—termasuk pekerja mandiri—yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum menjadi peserta Tapera telah menggeser peran negara dari sebagai “penjamin” menjadi “pemungut iuran” dari warganya.
Kondisi demikian dipandang tidak sejalan dengan esensi Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang pada pokoknya menegaskan kewajiban negara untuk mengambil tanggung jawab penuh atas kelompok rentan, bukan justru mewajibkan mereka menanggung beban tambahan dalam bentuk tabungan yang menimbulkan unsur paksaan.
Tumpang tindih dan beban ganda
Merujuk elaborasi Pasal 7 ayat (1) UU Tapera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera, cakupan pekerja yang diwajibkan menjadi peserta Tapera meliputi calon pegawai negeri sipil, aparatur sipil negara (ASN), prajurit TNI/Polri, pejabat negara, hingga pekerja negara/swasta. Artinya, siapa pun yang bekerja dan menerima gaji wajib menjadi peserta Tapera.
Sehubungan dengan itu, Mahkamah menyinggung UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang telah menentukan bahwa pemerintah menyediakan kemudahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah mendapatkan bantuan pembiayaan pembangunan dan perolehan rumah umum dan swadaya.
Kewajiban pekerja menjadi peserta Tapera menjadi kontradiktif dengan kemudahan yang dimaksud UU Perumahan dan Kawasan Permukiman. Terlebih, peserta Tapera juga ada masyarakat yang berpenghasilan rendah. Padahal, tanpa wajib menjadi peserta Tapera, setiap pekerja bisa mengakses layanan kepemilikan, pembangunan, dan renovasi rumah dari berbagai skema.
Skema yang dimaksud Mahkamah, antara lain, manfaat layanan tambahan yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan, kredit kepemilikan rumah (KPR), jaminan hari tua (JHT), housing program untuk ASN yang dikelola Taspen, serta program yang dikelola Asabri untuk prajurit TNI, Polri, serta ASN di lingkungan Kementerian Pertahanan.
Maka dari itu, Mahkamah menilai keberadaan Tapera sebagai kewajiban tidak hanya bersifat tumpang tindih, tetapi juga berpotensi menimbulkan beban ganda, terutama bagi kelompok pekerja yang sudah berkontribusi dalam skema jaminan sosial lainnya. Terlebih, di sisi lain, sifat wajib dalam Pasal 7 ayat (1) UU Tapera tidak membedakan pekerja yang telah memiliki rumah atau belum.
Pasal jantung inkonstitusional
Berdasarkan pelbagai pertimbangan tersebut, Mahkamah tidak sependapat dengan salah satu permohonan (petitum) alternatif yang diajukan KSBSI, yakni kata “wajib” dalam Pasal 7 ayat (1) diubah menjadi “dapat”. Sebab, substansi Pasal 7 ayat (1) merupakan ruh yang menjiwai keseluruhan norma dalam UU Tapera.
Jika pemaknaan kata “dapat” dikabulkan, seluruh mekanisme Tapera akan kehilangan logika normatifnya, mulai dari kewajiban pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya serta kewajiban pekerja mandiri mendaftarkan dirinya sendiri (Pasal 9), pembayaran Tapera oleh pemberi kerja dan pekerja (Pasal 17 ayat (1)), hingga pengenaan sanksi (Pasal 72).
MK memandang perubahan redaksional semata hanya akan menimbulkan disharmoni internal, inkonsistensi antarpasal, serta ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, Mahkamah sampai pada kesimpulan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU Tapera harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Mengingat pasal jantung UU Tapera telah dinyatakan inkonstitusional, ketentuan pasal-pasal lain dalam UU tersebut, yang juga dipersoalkan pemohon, menjadi kehilangan dasar konstitusionalnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi kewajiban hukum apa pun bagi pekerja maupun pemberi kerja menjadi peserta Tapera.
Harus diatur ulang
Mahkamah menyatakan persoalan mendasar UU Tapera bukan hanya terletak pada satu pasal tertentu, melainkan pada desain hukum secara keseluruhan: Tapera dibentuk dengan konsep tabungan, tetapi hasil akhir hanyalah pengembalian uang simpanan di akhir masa kepesertaan atau masa pensiun.
Skema demikian dinilai jauh dari tujuan utama, yakni memberikan akses kepada rakyat untuk memiliki rumah yang layak dan terjangkau. Oleh karena itu, MK memerintahkan pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan pemerintah, untuk menata ulang desain pemenuhan hak atas rumah.
Kendati demikian, MK tidak sekonyong-konyong membatalkan UU Tapera. Sebab, pembatalan seketika tanpa masa transisi akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan gangguan administratif dalam pengelolaan iuran maupun aset peserta, termasuk potensi risiko hukum terhadap entitas pelaksana, seperti BP Tapera dan lembaga keuangan terkait.
Oleh karena itu, guna menghindari kekosongan hukum, DPR dan pemerintah diberikan waktu paling lama dua tahun untuk melakukan penataan ulang sesuai dengan amanat UU Perumahan dan Kawasan Permukiman.
MK berpesan kepada pembentuk undang-undang agar memperhitungkan secara cermat ihwal pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan dari pengaturan yang sifatnya wajib menjadi pilihan bagi pemberi kerja, pekerja, termasuk pekerja mandiri, sesuai dengan prinsip keadilan sosial, perlindungan kelompok rentan, serta kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan lain dan hak-hak konstitusional warga negara. (gin)