Akses Pendidikan Tinggi Dibatasi UKT, DPR: Ironi Mencetak Indonesia Emas 2045

INDOPOSCO.ID – Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah menyayangkan pernyataan pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang menyatakan Perguruan tinggi adalah tertiary education atau bukan program wajib belajar. Hal itu dinilainya sebagai sikap sembrono dan “lepas tangan’ atas nasib rakyat, dimana mahasiswa ada yang memutuskan “drop out”.
“Pemerintah malah berkelit kalau kuliah itu tertiary education, pilihan pribadi untuk lanjut ke jenjang lebih tinggi, bukan prioritas pemerintah. Reaksi ini menurut saya sangat sembrono, tidak solutif dan ibarat Jaka Sembung naik ojek, gak nyambung, Jek,” jelas Ledia dalam laman DPR RI dikutip Selasa (21/5/2024).
Sebelumnya, Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandarie menyebut jika pendidikan tinggi adalah tertiary education atau bukan program wajib belajar. Ia mengatakan tidak seluruh lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi karena sifatnya adalah pilihan. Maka dari itu, menurutnya, pendanaan pemerintah tidak difokuskan untuk pendidikan tinggi.
Ledia menegaskan, tanggapan Kemendikbud jadi memunculkan kekhawatiran terkait kenaikan UKT (uang kuliah tunggal). Akibat pendidikan tinggi bukan termasuk wajib belajar, maka terserah saja mau berapa kenaikan UKT.
“Seolah-olah terserah saja mau semahal apa, terserah mahasiswa sanggup lanjut kuliah atau drop out, karena semua itu adalah pilihan,” ujar Ledia.
Menurut Ledia, negara harus siap dan harus mau mengawasi implementasi regulasi penentuan UKT di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), bukan malah mengingatkan soal tertiary education.
“Pernyataan itu menjadi tidak nyambung karena status PTN itu jelas Perguruan Tinggi Negeri yang berada di bawah naungan negara,” tukasnya.
“Sudah seharusnya penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan dikontrol oleh pemerintah. Kalau tidak dikontrol dan diawasi, maka akses pendidikan tinggi di Indonesia semakin sulit dijangkau, khususnya bagi masyarakat yang memiliki status ekonomi menengah ke bawah. Cita-cita mendulang Generasi Emas 2045 pun bisa hanya tinggal mimpi,” imbuhnya menambahkan.
Lebih lanjut, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menegaskan, jika biaya kuliah seharusnya dikontrol oleh pemerintah. Pemerintah perlu memastikan agar pendidikan tinggi tak lepas dari jangkauan masyarakat.
“Sudah seharusnya penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan dikontrol oleh pemerintah. Kalau tidak dikontrol dan diawasi, maka akses pendidikan tinggi di Indonesia semakin sulit dijangkau,” pungkasnya.
Senada juga diutarakan oleh anggota Komisi X Ratih Megasari Singkarru yang juga mengkritik pernyataan pejabat tinggi Kemendikbudristek yang menyebutkan bahwa pendidikan tinggi bersifat tersier.
“Ini adalah ironi besar, mengingat pemerintah sering menyuarakan ambisi untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 dan memanfaatkan bonus demografi agar tidak menjadi bencana demografi. Jika akses ke pendidikan tinggi dibatasi oleh faktor ekonomi, bagaimana mungkin kita dapat mencapai cita-cita tersebut? Pendidikan tinggi adalah kunci untuk mempersiapkan generasi muda yang kompeten dan mampu bersaing di tingkat global,” tegas Ratih.
Dengan anggaran pendidikan yang besar dalam APBN, ucap Ratih, pemerintah seharusnya mampu mengelola dan mendistribusikan dana tersebut dengan bijaksana untuk mendukung pendidikan tinggi yang terjangkau bagi semua kalangan.
“Kami mendesak Kemendikbudristek untuk melakukan pengawasan ketat terhadap implementasi regulasi terkait biaya operasional pendidikan di perguruan tinggi negeri dan memastikan bahwa kebijakan ini tidak memberatkan mahasiswa,” tukasnya.
Politisi Partai NasDem ini pun berharap pemerintah segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah ini, memastikan bahwa kebijakan pendidikan tinggi benar-benar mendukung tujuan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak malah menjadi beban tambahan bagi masyarakat.
“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus memperjuangkan hak pendidikan yang lebih baik dan terjangkau. Bersama-sama, kita bisa mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan yang diperlukan demi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih cerah,” pungkas Ratih. (dil)