Nasional

Menuntut Kehadiran Negara dalam Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan

INDOPOSCO.ID – Semarang (Samudranesia) – Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan berlangsung sejak 25 November sampai 10 Desember. Pemilihan rentang waktu tersebut secara simbolik menghubungkan antara kekerasan terhadap perempuan dengan Hak Asasi Manusia.

Hal itu juga menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. 25 November sebagai Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Internasional, 1 Desember sebagai Hari AIDS Sedunia, 2 Desember sebagai Hari Penghapusan Perbudakan Internasional, 3 Desember sebagai Hari Penyandang Cacat Internasional, 5 Desember sebagai Hari Sukarelawan Internasional, 6 Desember sebagai Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan, dan puncaknya 10 Desember sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. LRC-KJHAM mulai melakukan Kampanye Internasional 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan sejak tahun 2000.

“Setiap tahunnya kita terus menyuarakan hak-hak perempuan melalui kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Tetapi faktanya pelanggaran hak asasi perempuan masih terjadi. Perempuan masih menjadi korban dan objek kekerasan,” ungkap Citra Ayu Kurniawati dari LRC-KJHAM kepada media, Kamis (25/11).

Berdasarkan data LRC-KJHAM, 5 tahun terakhir (tahun 2016-2020) tercatat 1.315 kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah. Pada tahun 2021 tercatat 80 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan 120 perempuan menjadi korban dan 88 pelaku kekerasan. Tertinggi perempuan menjadi korban kekerasan seksual dengan 48 kasus dengan jumlah korban 89 atau 74% perempuan, sedangkan kasus KDRT dengan jumlah 29 kasus dengan 29 korban.

Selain itu, lanjut Citra, temuan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2021, bahwa perempuan korban masih mengalami hambatan dalam mengakses keadilan. Kasus-kasus kekerasan seksual, terutama yang korbannya dewasa sulit untuk dilaporkan.

“Korban masih mengalami kesulitan dalam proses pembuktian. Beberapa kasus harus bolak-balik dari kepolisian kejaksaan karena kurangnya alat bukti. Tidak sedikit juga kasus yang mandeg karena karena dianggap tidak cukup alat bukti. Masih ada juga korban yang diminta mencari alat bukti sendiri,” jelasnya.

Dalam pendampingan korban saat proses hukum, masih ditemukan Jaksa penuntut umum yang menjalankan tugasnya namun belum mewakili kepentingan korban dalam proses hukum pidana (dalam koordinasi dan upaya hukum).

“Korban masih kesulitan mengakses hak atas restitusi. Dalam hal ini masih ada penuntut umum yang menolak memasukkan restitusi di dalam tuntutannya, dan menyuruh korban meminta langsung kepada hakim di persidangan. Selain itu masih ada jaksa yang tidak menerima permohonan korban untuk menghadirkan saksi ahli,” tambahnya.

Di proses persidangan, jadwal sidang untuk kasus pidana kurang efektif, sehingga korban dan saksi yang akan memberikan keterangan di persidangan harus lama menunggu di pengadilan. Tidak banyak juga kasus kekerasan terhadap perempuan yang bisa sampai putusan. Sepanjang 2020 hingga 2021 hanya ada 13 kasus yang putusan. 10 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual anak perempuan dengan putusan rata-rata 5-15 tahun, 1 kasus KDRT dengan putusan hanya 9 bulan dan 2 kasus dari perempuan korban kekerasan yang dikriminalkan.

“Stigma dari aparat juga masih diterima oleh korban, seperti disudutkan dan disalahkan. Bahkan upaya-upaya mediasi juga masih dilakukan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi sulit untuk di proses dan tidak semua perguruan tinggi responsive terhadap kasus kekerasan seksual,” jelasnya.

Masa Pandemi Covid-19

Dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi Covid-19 korban juga mengalami hambatan dalam mengakses layanan. Seperti akses layanan visum yang sudah dijadwalkan dengan RS harus dirujukkan ke RS lain karena RS penuh dengan pasien Covid. Tidak adanya ruangan khusus untuk layanan visum, melainkan di ruangan yang sama yaitu IGD yang bercampur dengan pasien Covid-19.

Baca Juga: Komnas Perempuan: RUU Kekerasan Seksual Perlu Disempurnakan

“Untuk akses layanan shelter salah satu syarat korban harus memiliki surat yang menyatakan bahwa negative Covid-19 akan tetapi tidak ada tempat khusus korban menunggu hasil sehingga harus dibantu oleh pendamping untuk mendapatkan tempat tinggal sementara. Penanganan kasus yang dilakukan secara tatap muka, juga menimbulkan kerentanan pendamping dan korban terpapar Covid-19,” kata Citra.

“Seperti pada saat pemeriksaan medis atau layanan visum di Rumah sakit, pendampingan di kepolisian di mana ruangan yang sempit dengan banyak pengunjung. Situasi tersebut membuat pendamping rentan terpapar Covid-19,” katanya menambahkan.

Sementara itu anggaran untuk perlindungan perempuan termasuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan banyak direfocusing untuk pencegahan dan penanganan Covid-19. Dari data monitoring anggaran LRC-KJHAM menyebutkan bahwa anggaran Dinas Perempuan Anak Provinsi Jawa Tengah tahun 2020 adalah 33.431.326.000. Kemudian di tahun 2021 anggaran tersebut turun menjadi 27.932.278.000.

Termasuk ketiadaan anggaran yang memadai untuk pemberian layanan kesehatan berupa biaya persalinan bagi perempuan korban kekerasan seksual dimana korban tidak mempunyai dokumen seperti buku nikah.

Masih kata Citra, situasi ini ditambah dengan melemahnya partisipasi perempuan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan. Kebijakan pembatasan yang menuntut dialihkannya forum-forum perencanaan pembangunan menjadi online atau daring, membuat keterlibatan perempuan menjadi terbatas. Diantaranya karena keterbatasan akses perempuan terhadap teknologi dan hambatan jaringan internet yang menjangkau hingga pedesaan.

“Berdasarkan pada situasi tersebut maka kami menuntut kehadiran Negara untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang melindungi perempuan korban kekerasan,” tegasnya.

Selanjutnya, ia juga meminta negara untuk memperbaiki fasilitas layanan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan, peningkatan kapasitas petugas dan pendamping korban.

“Negara perlu mengalokasikan anggaran untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan emperkuat Gerakan masyarakat sipil dalam kerja-kerja penghapusan diskriminasi termasuk kekerasan terhadap perempuan,” tutupnya. (ney)

Back to top button