DPR: Buku Pelajaran Jangan Memuat Situs dengan Jelas

INDOPOSCO.ID – Sebaiknya dalam buku pelajaran tidak menyebutkan nama situs tertentu dengan jelas. Karena itu sama saja mengarahkan siswa untuk mengaksesnya. Pernyataan tersebut diungkapkan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf menanggapi buku Sosiologi SMA/MA kelas XII yang memuat situs yang berisi konten pornografi.
Dede mengakui, pemerintah lemah dalam melakukan pengawasan terhadap situs-situs yang ada. Karena tidak sedikit situs bermuatan konten pornografi bisa dengan mudah diakses oleh publik. “Saya setuju, sebaiknya di dalam buku pelajaran tidak menulis situs secara jelas,” ujar Dede Yusuf melalui gawai, Kamis (11/2/2021).
Ia meminta, agar pihak terkait dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan penerbit buku melakukan koreksi dan revisi buku tersebut. Fenomena ini dalam dunia pendidikan, menurut Dede, bentuk keteledoran.
“Harus ada tanggung jawab publik. Apa yang sudah dirilis itu milik publik, baik itu positif ataupun negatif dalam pemanfaatannya. Jadi kalau bicara pendidikan harus tersamarkan,” terangnya.
Lebih jauh Politisi Partai Demokrat ini mengungkapkan, sebelum buku digunakan sebagai acuan proses pembelajaran siswa, sekolah harus melakukan quality control atau pengecekan dengan benar. Apalagi fenomena buku dengan muatan konten yang kurang tepat, menurut Dede seringkali ditemukan di lingkungan sekolah.
“Kita sering sekali mendengar buku-buku sekolah yang bermuatan porno atau muatan yang kurang pas, bahkan bisa setiap bulan. Artinya apa? Kemendikbud jangan merilis buku sebelum mendapatkan hasil pengecekan. Ini kami pertanyakan? Jelas fungsi pusat kurikulum dan perbukuan (Puskurbuk), Kemendikbud belum optimal,” ungkapnya.
Sebagai fungsi pengawasan, menurut Dede, peran pemerintah semestinya mengetahui dampak buku saat dirilis ke masyarakat. “Kalau sekolah kan hanya membeli apa yang sesuai kebutuhan mereka. Jadi Kemendikbud harus mengecek isi atau konten dalam buku, sebelum dirilis,” ucapnya.
Upaya penarikan buku yang mencantumkan situs bermuatan pornografi oleh dinas, masih ujar Dede, sebagai langkah yang kurang tepat. Karena akan menimbulkan kerugian pada pembiayaan hingga pengulangan pembelajaran bagi siswa. Ke depan, menurutnya, harus ada penguatan di bidang pengawasan. Agar kasus serupa tidak berulang.
“Itu (quality control) penting, harus diperkuat, agar buku sesudah dirilis tidak menuai polemik di masyarakat,” ujarnya.
“Dinas pendidikan cukup hanya meninjau ulang dan menyampaikan kepada pemerintah daerah untuk melarang buku beredar kembali sebelum ada revisi. Kan itu hanya 1 atau 2 kata saja yang tidak pas,” imbuhnya. (nas)