Jakarta Hampir 5 Abad, HSI Dorong Pelembagaan Adat Betawi

INDOPOSCO.ID – Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Dr. Rasminto, menyoroti lemahnya pengakuan struktural terhadap masyarakat adat Betawi di tengah transformasi Jakarta menjadi kota global. Ia menilai, di balik gegap gempita modernisasi, Jakarta justru makin jauh dari jati dirinya.
“Jakarta terus dibangun untuk jadi pusat ekonomi nasional dan kota global. Tapi, masyarakat Betawi justru makin terpinggirkan dari ruang dan peran strategisnya,” kata Rasminto dalam acara Sarasehan III Kaukus Muda Betawi dengan tema Menyongsong 498 Tahun Kota Jakarta dan Lembaga Adat Masyarakat Betawi Tahun 2025 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Senin (2/6/2025).
Rasminto menyebut Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) memang menyinggung pentingnya nilai-nilai lokal, namun tidak disertai pelembagaan konkret untuk budaya Betawi.
“Budaya Betawi itu bukan dekorasi seremoni, tapi identitas historis Jakarta. Kalau tidak diperkuat secara kelembagaan, kita sedang menyaksikan pengikisan akar budaya secara sistematis,” tegasnya.
Rasminto menilai, masyarakat Betawi hari ini menghadapi risiko tergusur secara sosial dan kultural.
“Kampung-kampung berubah jadi real estat. Bahasa Betawi mulai terpinggirkan. Sementara lembaga adatnya tak punya pijakan hukum yang kuat,” katanya.
Pakar geografi manusia dari Universitas Islam 45 (Unisma) menambahkan, secara teoritis, ruang kota Jakarta kini lebih banyak diproduksi oleh logika kapital dan kepentingan global.
“Ruang itu bukan cuma fisik, tapi sosial dan ideologis. Ketika masyarakat lokal kehilangan ruang untuk memproduksi makna, mereka kehilangan kuasa,” ujarnya.
Ia juga mengutip konsep topophilia dari Yi-Fu Tuan dan right to the city dari David Harvey.
“Intinya, Jakarta seharusnya bukan hanya milik modal, tapi juga milik warganya—termasuk masyarakat Betawi yang membentuk sejarah kota ini,” ucapnya.
Rasminto pun membandingkan Jakarta dengan daerah lain yang telah mengakui dan menginstitusikan adat lokal.
“Yogyakarta punya Kraton, Sumatera Barat ada Kerapatan Adat Nagari, Kalimantan punya lembaga adat Dayak, dan Bali ada MDA nya. Tapi di Jakarta, lembaga adat Betawi seperti dianaktirikan,” paparnya.
Di usia Jakarta yang hampir 5 abad, Rasminto menyerukan pentingnya pengakuan formal terhadap lembaga adat Betawi.
“Ini bukan sekadar nostalgia budaya, tapi soal keadilan sejarah dan ruang. Kota besar itu bukan cuma soal gedung tinggi, tapi bagaimana ia merawat identitas dan memberi tempat bagi warganya sendiri,” pungkasnya. (nas)