Internasional

Paus Fransiskus Sosok yang Konsisten Perjuangkan Perdamaian

INDOPOSCO.ID – Kita mengenang Paus Fransiskus sebagai Paus perdamaian melalui seruannya yang tak kenal lelah dan kunjungannya yang terus-menerus untuk menunjukkan kedekatannya dengan mereka yang menderita akibat salah satu bencana buatan manusia yang paling tidak adil yakni perang.

Pada penampilan publik terakhirnya, Paus Fransiskus mengulang apa yang telah menjadi slogan dalam kepausannya tentang perdamaian. Semua orang tahu bahwa slogan itu akan dikumandangkan di akhir audiensinya, tetapi slogan itu tidak pernah kehilangan kekuatannya.

Seperti dikutip dari Vatican News, Senin (21/4/2025) saat memberkati Urbi et Orbi Paskah, sehari sebelum wafatnya, kata-kata Paus menggemakan seruan yang tak terhitung jumlahnya yang telah ia sampaikan selama bertahun-tahun, mendesak para pemimpin dunia untuk meletakkan senjata dan beralih ke dialog.

Bahkan saat ia kesulitan berbicara, setelah meminta seseorang membacakan pesannya atas namanya, suaranya, meskipun lemah, bergema di Lapangan Santo Petrus dan layar-layar di seluruh dunia.

Sejak hari-hari pertama masa kepausannya yang berlangsung selama 12 tahun, Paus Fransiskus memelopori gerakan Katolik global untuk advokasi perdamaian. Melalui kata-kata, tindakan, dan perbuatan, ia menunjukkan keyakinannya yang tak tergoyahkan pada kekuatan rekonsiliasi, pentingnya dialog, dan urgensi untuk mengakhiri kekerasan dalam segala bentuknya.

Kata-Kata dan Tindakan

Dijuluki “Paus dari pinggiran,” Paus Fransiskus selalu meluangkan waktu untuk mengenang mereka yang menderita akibat konflik. Sambil berdoa untuk perdamaian di daerah-daerah yang paling banyak mendapat perhatian media, ia juga tidak pernah gagal menyalurkan doanya ke beberapa daerah yang paling terdampak, namun paling dilupakan oleh dunia.

Salah satu gerakannya yang paling simbolis, dan momen yang sangat mencolok dari kepausannya, adalah pada bulan April 2019, ketika ia berlutut untuk mencium kaki para pemimpin Sudan Selatan, yang tengah bergulat dengan perang saudara yang mengerikan. Saat ia menyambut Presiden Salva Kiir dan pesaingnya Riek Machar di Vatikan, Paus, dalam kerendahan hatinya, mencium kaki mereka, mendesak para pemimpin untuk meletakkan senjata mereka dan menempuh jalan perdamaian.

Permohonan pribadinya berubah menjadi diplomatik ketika, empat tahun kemudian, pada bulan Februari 2023, ia melakukan perjalanan ke Sudan Selatan. Bersama dengan Uskup Agung Canterbury dan Moderator Gereja Skotlandia, ia dengan hangat menyapa ribuan umat beriman yang telah menderita dan terus menanggung akibat perang yang brutal.

Kemudian, saat menyampaikan pidatonya di hadapan otoritas negara, masyarakat sipil, dan korps diplomatik di Istana Kepresidenan di Juba, ia memperingatkan mereka: “Generasi mendatang akan memuja nama kalian atau menghapus ingatan mereka, berdasarkan apa yang kalian lakukan sekarang”.

Seruannya untuk perdamaian juga mengacu pada warisan perang di masa lalu, luka yang ditimbulkan oleh kekejaman yang dilakukan antarbangsa dan masyarakat, dan memastikan bahwa kesalahan tertentu tidak akan pernah terulang. Selama kunjungannya ke Hiroshima dan Nagasaki pada bulan November 2019, Paus Fransiskus menyampaikan permohonan yang kuat untuk menentang senjata nuklir.

Berdiri di Taman Hiposentrum Bom Atom di Nagasaki, di tanah yang sama di mana bom atom telah menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya, ia mengutuk kehancuran yang disebabkan oleh senjata semacam itu dan semua orang yang memilikinya, dengan menyatakan, “Penggunaan energi atom untuk tujuan perang adalah tidak bermoral, sama seperti kepemilikan senjata nuklir adalah tidak bermoral.”

Paus Fransiskus secara konsisten berusaha mengatasi akar penyebab kehancuran, mendesak mereka yang berkuasa untuk bertanggung jawab. Advokasinya untuk denuklirisasi sangat penting dalam hal ini.

Paus Fransiskus sering mengecam perdagangan senjata, dan berulang kali mengutuk mereka yang mendapat untung dari perang. Dalam pidatonya di hadapan Kongres Amerika Serikat pada tanggal 24 September 2015, ia mengajukan pertanyaan yang menghantui: “Mengapa senjata mematikan dijual kepada mereka yang berencana untuk menimbulkan penderitaan yang tak terkira pada individu dan masyarakat? Sayangnya, jawabannya, seperti yang kita semua tahu, hanyalah demi uang: uang yang berlumuran darah, sering kali darah orang yang tidak bersalah.”

Ia menggambarkan investasi uang dalam senjata sebagai “kegilaan” dan mengecam utang yang terkait dengan “pasar gelap” senjata. Saat dunia memasuki tahun 2025, pesannya tetap mendesak seperti sebelumnya: “Hentikan penjajahan orang dengan senjata!”

Ziarah Perdamaian

Seperti halnya Sudan Selatan, banyak perjalanan kerasulan Paus Fransiskus yang didedikasikan untuk perdamaian. Pada bulan Maret 2021, ia mengukir sejarah sebagai Paus pertama yang melakukan perjalanan ke Irak. Di sana, ia membawa pesan persatuan dan harapan bagi negara yang hancur akibat konflik selama bertahun-tahun.

Khususnya, pertemuannya dengan Ayatollah Besar Ali al-Sistani di Najaf menggarisbawahi kekuatan dialog antaragama dan rasa saling menghormati, dan berujung pada pernyataan Paus Fransiskus bahwa “Perdamaian tidak menuntut pemenang atau pecundang, melainkan saudara dan saudari yang, meski memiliki kesalahpahaman dan luka masa lalu, memilih jalan dialog.”

Baru-baru ini, pada bulan September 2024, Paus Fransiskus mengunjungi Timor Timur, negara muda yang berjuang keras dan lama untuk meraih kemerdekaan. Kehadirannya merupakan tanda kedekatan yang kuat dengan negara paling Katolik di dunia, yang telah berjuang lama untuk meraih kebebasan dan masih berusaha pulih dari masa lalunya.

Di sana, saat merayakan Misa di Tasitolu untuk 600.000 orang, Paus mengingatkan mereka yang hadir bahwa “Kalian tetap teguh dalam harapan bahkan di tengah kesengsaraan, dan, berkat karakter umat kalian dan iman kalian, kalian telah mengubah kesedihan menjadi sukacita”.

Seruan Diplomatik dan Gencatan Senjata

Di luar perjalanannya, Paus Fransiskus telah menggunakan suaranya untuk campur tangan dalam konflik global, dengan tanpa lelah menyerukan gencatan senjata dan negosiasi. Pada bulan Mei 2014, Presiden Israel Shimon Peres dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas bertemu dengannya di Vatikan untuk sebuah pertemuan puncak doa, yang menunjukkan keyakinannya bahwa doa dan dialog dapat membuka jalan bagi perdamaian.

Sejak itu, ketika kekerasan terus meningkat di Timur Tengah, pada bulan Oktober 2024, Paus Fransiskus menyampaikan permohonan yang penuh semangat untuk gencatan senjata di Gaza, pembebasan sandera Israel, dan akses kemanusiaan bagi mereka yang membutuhkan di seluruh wilayah.

Pada bulan yang sama, setelah satu tahun serangan Israel di Gaza, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan mantan Menteri Luar Negeri Palestina Nasser Al-Kidwa menyampaikan kepada Paus Fransiskus proposal perdamaian mereka untuk perang yang menghancurkan negara mereka.

Suara Pembawa Damai yang Tak Tergoyahkan

Kedekatan Paus dengan mereka yang menderita dan advokasinya untuk mengakhiri kekerasan global selalu menjadi prioritas. Bahkan di saat-saat sulit, Paus Fransiskus tetap berkomitmen pada perdamaian.

Pada minggu-minggu terakhirnya, selama dirawat di rumah sakit karena pneumonia bilateral, Paus Fransiskus menyempatkan diri untuk melakukan obrolan video dengan paroki Keluarga Kudus di Gaza, yang telah berhubungan erat dengannya selama serangan Israel.

Dalam Tahun Suci yang didedikasikan untuk Harapan ini, pesan-pesan Paus Fransiskus, kedekatan, dan kepeduliannya terhadap perdamaian merupakan warisan yang akan terus bergema sepanjang masa depan Gereja dan umat manusia, mengingat bahwa seruannya bukan sekadar seruan untuk tidak adanya perang, tetapi untuk kehadiran keadilan, dialog, dan persaudaraan – untuk dunia yang diperuntukkan bagi semua orang dan bukan hanya untuk sebagian orang saja, dan di mana mereka yang memiliki lebih banyak tidak akan pernah melupakan mereka yang kekurangan. (dam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button