Kisruh Program Makan Bergizi Gratis, Ekonom: Tekor Asal Kesohor

INDOPOSCO.ID – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas sebagai janji politik Presiden Prabowo Subianto sejatinya bertujuan mulia. Memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang layak, bagian dari strategi menurunkan angka stunting dan meningkatkan kualitas SDM (sumber daya manusia).
“Namun, alih-alih menjadi solusi, program ini justru menyulut kegaduhan yang berulang, dari kisruh pembayaran, kualitas gizi, hingga dugaan proyek bancakan yang menguntungkan kelompok tertentu,” ungkap Ekonom Achmad Nur Hidayat melalui gawai, Senin (21/4/2025).
Ia menilai, program MBG produk politik yang dipaksakan tanpa dukungan fiskal yang realistis. Sehingga mengarah pada kegagalan perencanaan dan ketidaksiapan APBN.
“Sejak awal program ini tidak dibangun di atas basis fiskal yang kokoh, melainkan di atas ilusi politik populis,” katanya.
“APBN 2025 tidak menunjukkan kesiapan struktural maupun ruang fiskal yang memadai untuk menyokong program sekelas MBG, apalagi dengan perluasan skala yang eksponensial,” imbuhnya.
Ia menerangkan, pada rancangan awal, anggaran yang diajukan untuk program ini adalah Rp71 triliun, namun dalam waktu singkat jumlahnya direncanakan melonjak menjadi Rp171 triliun. Kenaikan ini bukan hanya tidak realistis, tetapi juga tidak didukung oleh kapasitas fiskal yang ada.
Pemerintah, masih ujar dia, tampaknya tidak mengantisipasi bahwa penerimaan negara akan melemah di awal tahun. Sampai akhir kuartal pertama 2025, realisasi pendapatan negara hanya mencapai 10,5 persen dari target, dengan kontraksi lebih dari 20 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (APBN Maret 2025).
“Tekanan ini sebagian besar berasal dari penerimaan pajak yang lebih rendah, ditambah dengan fluktuasi harga komoditas global dan tekanan ekonomi domestik,” bebernya.
“Situasi ini seharusnya menjadi alarm keras bahwa negara sedang menghadapi keterbatasan ruang fiskal yang serius,” sambungnya.
Dikatakan dia, Badan Gizi Nasional (BGN) bukan menahan diri, justru semakin progresif mengundang banyak mitra swasta dan komunitas lokal untuk ikut serta dengan janji-janji manis bahwa mereka akan dibayar oleh negara.
“Kasus Kalibata menjadi simbol kegagalan. Sebuah dapur komunitas yang telah menyiapkan lebih dari 65.000 porsi makanan, kini justru dililit utang karena pembayaran dari pihak penyelenggara tak kunjung datang,” katanya.
“Ironis lagi, mereka justru ditagih oleh yayasan mitra BGN untuk membayar biaya logistik dan penyediaan tempat makan (ompreng),” imbuhnya.
Kondisi tersebut, masih ujar dia, adalah gejala dari sistem yang tidak hanya tidak terencana, tetapi juga mengandung celah moral hazard yang besar. Pemerintah hanya memproyeksikan citra sosial populis, namun membebankan biaya kepada aktor-aktor kecil tanpa kepastian fiskal yang kuat.
“Ironisnya, dalam kondisi keuangan negara yang tertekan, BGN tetap bergerak agresif seolah dana Rp100 triliun tambahan itu sudah tersedia,” ujarnya.
“Pengawasan memang penting, namun lebih penting lagi adalah memastikan bahwa program ini memiliki dasar fiskal dan administratif yang solid,” sambungnya. (nas)