Beban Ekonomi Makin Berat di 2025, Ekonom: Kelas Menengah Terancam Jatuh Miskin

INDOPOSCO.ID – Ekonom Achmad Nur Hidayat mengatakan, kebijakan baru pemerintah pada 2025 bakal menghantam masyarakat kelas menengah di Indonesia. Dari kenaikan pajak hingga penghapusan sejumlah subsidi pada tahun depan.
“Meskipun kebijakan ini meningkatkan penerimaan negara, tapi memiliki potensi besar menambah beban ekonomi masyarakat khususnya kelompok kelas menengah yang bukan penerima bantuan langsung,” kata Achmad Nur Hidayat melalui gawai, Selasa (24/12/2024).
Ia mengatakan, mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kenaikan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan menyelaraskan tarif pajak Indonesia dengan standar internasional.
“Dampaknya akan langsung terasa pada harga barang dan jasa, yang otomatis naik. Kenaikan ini diperkirakan akan paling berdampak pada kelas menengah,” katanya
“Mereka tidak mendapatkan subsidi, tetapi tetap terpaksa mengeluarkan uang lebih banyak untuk kebutuhan sehari-hari,” imbuhnya.
Apalagi, dikatakan dia, kenaikan upah UMP (Upah Minimum Provinsi) hanya 6,5 persen yang diprediksi tidak akan mampu mencukupi kenaikan inflasi dan kenaikan harga akibat PPN 12 persen tersebut. Bahkan dengan PPN 12 persen tersebut Indonesia termasuk negara penghisap pajak terbesar di ASEAN setelah Filipina.
“Beruntung mereka yang berdomisili di Vietnam, Malaysia, Singapore dan Thailand tidak mengalami kenaikan sebesar Indonesia,” terangnya.
Ia menegaskan, dengan daya beli masyarakat yang sudah melemah akibat inflasi dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan PPN ini berpotensi memperburuk situasi ekonomi rumah tangga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), daya beli kelas menengah telah menurun sekitar 5 persen pada 2024 akibat tekanan inflasi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengisyaratkan penyesuaian tarif listrik pada 2025, khususnya untuk pelanggan non-subsidi. Penyesuaian ini bertujuan menutupi kenaikan biaya produksi listrik akibat harga energi global yang terus meningkat.
“Dampaknya sangat jelas yakni rumah tangga kelas menengah yang menjadi pelanggan golongan non-subsidi akan menghadapi kenaikan biaya listrik bulanan,” katanya.
Ia mengatakan, tarif listrik merupakan komponen penting dalam pengeluaran rumah tangga. Menurut laporan Kementerian ESDM, rumah tangga kelas menengah rata-rata menghabiskan 10 persen dari pendapatannya untuk membayar listrik.
“Jika tarif listrik naik, pengeluaran ini diperkirakan akan meningkat menjadi 12-15 persen dari pendapatan,” ucapnya.
“Meski pemerintah memberikan diskon tarif listrik sebesar 50 persen selama Januari hingga Februari 2025, namun tidak serta merta menghapus potensi kenaikan tarif listrik pada kuartal I-2025, setelah sebelumnya pemerintah menahan tarif listrik triwulan IV-2024 atau periode Oktober-Desember 2024,” lanjutnya. (nas)