Sidang Kasus Timah, Jaksa Sebut Tamron Tamsil alias Aon Dapat Rp3,6 Triliun

INDOPOSCO.ID – Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkap daftar nama penerima uang dalam kasus pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk untuk periode 2015-2022, yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp300 triliun.
Terdapat sepuluh nama penerima, baik individu maupun entitas korporasi.
Di antaranya adalah Tamron Tamsil alias Aon yang melalui CV Venus Inti Perkasa diduga menerima setidaknya Rp3,66 triliun.
Pengungkapan ini disampaikan oleh JPU Ardito Muwardi saat membacakan surat dakwaan terhadap mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk periode 2015-2019, Suranto Wibowo, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (31/7/2024).
Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan mengungkapkan bahwa Amir Syahbana dalam kasus korupsi tata niaga timah ini diduga telah memperkaya diri hingga lebih dari Rp352 juta.
“Perbuatan terdakwa telah mengakibatkan perolehan kekayaan untuk diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi. Dalam hal ini, Amir Syahbana diduga telah memperkaya diri sebesar Rp325.999.998,” kata JPU Ardito dalam keterangan Kamis (1/8/2024).
Pada sidang perdana tersebut, Suranto Wibowo juga duduk sebagai terdakwa bersama Kepala Bidang Pertambangan Mineral Logam Dinas ESDM Bangka Belitung 2021-2023, Amir Syahbana, serta mantan Plt Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung, Rusbani alias Bani.
Suranto Wibowo, Amir Syahbana, dan Rusbani didakwa telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain itu, Suparta melalui PT Refined Bangka Tin menerima sebesar Rp4.571.438.592.561,56.
Tamron Tamsil alias Aon melalui CV Venus Inti Perkasa setidaknya menerima Rp3.660.991.640.663,67.
Robert Indarto melalui PT Sariwiguna Binasentosa setidaknya Rp1.920.273.791.788,36.
Suwito Gunawan alias Awi melalui PT Stanindo Inti Perkasa setidaknya Rp2.200.704.628.766,06.
Hendry Lie melalui PT Tinindo Internusa setidaknya mendapatkan Rp1.059.577.589.599,19.
CV Global Mandiri Jaya, PT Indo Metal Asia, CV Tri Selaras Jaya, dan PT Agung Dinamika Teknik Utama setidaknya menerima Rp10.387.091.224.913,00.
CV Indo Metal Asia dan CV Koperasi Karyawan Mitra Mandiri (KKMM) setidaknya menerima Rp4.146.699.042.396,00.
Emil Ermindra melalui CV Salsabila setidaknya menerima Rp986.799.408.690,00.
Harvey Moeis dan Helena Lim setidaknya mendapatkan Rp420.000.000.000,00.
Selain itu, terdapat pula akal-akalan Beneficial Owner CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia, Tamron alias Aon, Beneficiary Owner PT Stanindo Inti Perkasa Suwito Gunawan alias Awi, General Manager Operasional PT Tinindo Internusa periode 2017-2020 Rosalina, Marketing PT Tinindo Internusa periode 2008-2018 Fandy Lingga alias Fandy Lie, Direktur PT Sariwiguna Binasentosa Robert Indarto, Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin Reza Andriansyah, dan Harvey.
JPU menuturkan bahwa mereka menyepakati besaran pembayaran sewa peralatan pemrosesan pengolahan timah jauh melebihi nilai Harga Pokok Penjualan (HPP) smelter PT Timah, yaitu Rp3,02 triliun dari yang seharusnya senilai Rp738,93 miliar berdasarkan HPP.
“Sehingga terdapat kemahalan harga sebesar Rp2,28 triliun,” ucap JPU.
Setelah kerja sama sewa peralatan pengolahan timah ditandatangani, kata JPU, Tamron, Suwito, Robert, dan Fandy melakukan pertemuan dengan Harvey.
Dalam pertemuan tersebut, Harvey meminta uang sebesar 500 dolar Amerika Serikat (AS) hingga 750 dolar AS per metrik ton kepada keempatnya untuk biaya pengamanan peralatan.
Keempat orang tersebut sepakat mengumpulkan dana pengamanan seolah-olah sebagai biaya Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (CSR) dengan nilai sebesar 500 dolar AS per metrik ton, yang dihitung dari jumlah hasil peleburan timah dengan PT Timah.
JPU membeberkan mekanisme pengumpulan dana pengamanan yang seolah-olah biaya CSR itu, ada yang diserahkan secara langsung kepada Harvey serta ada yang ditransfer melalui rekening tempat penukaran uang atau Money Changer PT Quantum Skyline Exchange dan money changer lainnya sehingga seolah-olah uang yang ditransfer merupakan transaksi penukaran mata uang asing.
“Setelah uang tersebut masuk ke rekening money changer PT Quantum Skyline Exchange, maka dilakukan penarikan oleh Helena Lim yang kemudian uang tersebut diserahkan dan dikelola oleh Harvey,” tutur JPU.
Selain akibat uang yang mengalir ke Harvey dan Helena, kerugian negara juga disebabkan karena adanya aliran uang korupsi yang memperkaya Amir senilai Rp325,99 juta, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin Suparta melalui PT Refined Bangka Tin Rp4,57 triliun, Tamron melalui CV Venus Inti Perkasa Rp3,66 triliun, Robert melalui PT Sariwiguna Binasentosa Rp1,92 triliun, serta Suwito melalui PT Stanindo Inti Perkasa Rp2,2 triliun.
Kemudian, menguntungkan pula sebanyak 375 mitra jasa usaha pertambangan, di antaranya CV Global Mandiri Jaya, PT Indo Metal Asia, CV Tri Selaras Jaya, dan PT Agung Dinamika Teknik Utama Rp10,38 triliun, CV Indo Metal Asia dan CV Koperasi Karyawan Mitra Mandiri (KKMM) Rp4,14 triliun, serta Emil melalui CV Salsabila Rp986,79 miliar.
Adapun ketiga Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung tersebut didakwa melakukan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp300 triliun.
Korupsi diduga dilakukan ketiganya dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi atau dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan, yang bertujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, suatu korporasi, sehingga merugikan keuangan negara.
Dengan demikian, perbuatan para terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (fer)