Headline

Cak Imin Jadi Cawapres Anies Targetnya Bukan untuk Menang Pilpres, Ini Komentar Pengamat

INDOPOSCO.ID – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau akrab disapa Cak Imin menerima tawaran Partai Nasdem untuk menjadi calon wakil presiden (Cawapres) mendampingi calon presiden (Capres) Anies Baswedan ternyata untuk mewujudkan mimpi Cak Imin menjadi capres atau cawapres.

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengatakan PKB tetap memilih berkoalisi dengan Anies guna mewujudkan mimpi bahwa Ketua Umum PKB di bawah Cak Imin pernah jadi cawapres.

“Satu tempat yang sulit dijangkau pasca-PKB di bawah kepemimpinan Cak Imin. Dan dalam skala mikro memenuhi mimpi Cak Imin untuk dapat jadi capres, atau minimal cawapres. Mimpi yang telah digaungkannya sejak PKB di bawah kepemimpinannya. Jadi, ini bukan soal menang atau kalah. Menang pilpres adalah bonus. Bahwa jadi cawapres itu saja sudah merupakan langkah maju bagi PKB,” ungkap Ray Rangkuti kepada indopos.co.id, Minggu (3/9/2023).

Ray mengaku tidak terkejut dengan situasi Partai Nasdem tiba-tiba menawarkan PKB untuk bergabung dalam Koalisi Perubahan dan meminta Cak Imin menjadi Cawapres Anies.

“Saya tidak terkejut dengan situasi ini. Pada Juni 2023 pernah saya sampaikan bila pertengahan Juli 2023, Anies tak juga mengumumkan siapa cawapresnya, maka besar kemungkinan yang dipilih bukanlah AHY. Saat ini, kabar itu terjadi. Anies memilih Cak Imin yang posisinya memang hampir sama dengan AHY di koalisi Prabowo,” kata Ray.

Ray mengungkapkan, satu-satunya yang mengejutkan adalah perpaduan Anies dengan Cak Imin. Dan itu, bukanlah sesuatu yang melompat. Jauh sebelumnya, Anies memang sedang mengincar cawapresnya dari kalangan Nahdhiyin. Beberapa nama, sebelumnya, gencar disebutkan. Dari Khofifah, Mahfud MD dan terakhir adalah Yenny Wahid. Tak mendapat respons dari 3 tokoh itu, Anies akhirnya menggaet Cak Imin.

Ray berpendapat, Anies menggaet tokoh Nahdhiyin karena dua hal yaitu pertama, meraup suara di basis Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kedua, menurunkan kadar pandangan Anies sebagai perpanjangan tangan kelompol Islam politik. Sesuatu yang terjadi begitu mesra di kala pilkada DKI Jakarta, 2017 lalu.

Kendati demikan, Ray mengatakan ragu perpaduan Anies dengan Cak Imin akan membantu meraup suara lebih banyak di kalangan NU di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

“Apakah dengan begitu, kiranya Anies akan mendapatkannya? Saya ragu. Jikapun ada, tak akan lebih dari 5%. Tambahan suaranya tak lebih dari 5%, cap perpanjangan tangan Islam Politik berkurang 5%. Tentu kepastiannya tetap menunggu kerja-kerja kompilasi dua aliran politik yang secara tradisionil beda,” katanya.

Ray menjelaskan, perpaduan ini (Anies-Cak Imin), jelas tidak menambah barisan pendukung Anies dari kelompok Islam Politik. Kecenderungannya justru pinda capres. Dan besar kemungkinan akan ke Prabowo.

Hal yang sama dengan pemilih NU. Tidak mudah diajak masuk dalam rumah yang sama dengan pemilih Islam politik atau PKS. Besar kemungkinan mereka akan pindah ke Ganjar. Alias, perpaduan ini memiliki implikasi menambah suara Ganjar dan Prabowo.

“Ide dan slogan perubahan makin kabur. Sebanyak 2 dari 3 partai pengusung Anies adalah partai koalisi Jokowi. Walhasil wajah Jokowi terlihat ada di kemungkinan 3 capres yang ada. Semuanya jadi serba Jokowi,” tuturnya.

Lalu bagaimana dengan Partai Demokrat? Ke mana Demokrat sesudah ini?

Menurut Ray, Partai Demokrat memang butuh ‘pemain’ lapangan. Situasi ini menggambarkan terlalu besar yang diberikan Demokrat untuk dapat sesuatu yang secara politik masih samar. Sejak 2014 mereka selalu ketinggalan kereta. Demokrat perlu segera mengevaluasi pola dan langkah politik mereka. Butuh lebih banyak ‘pemain’ lapangannya. (dam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button