Hakim Indonesia Kurang Paham Aturan Mengadili Perkara Perempuan

INDOPOSCO.ID – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyampaikan hasil kajiannya bahwa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) masih kurang dipublikasikan dan dipahami oleh para hakim.
Alhasil, Perma No.3/2017 yang telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung 4 tahun yang lalu belum banyak dijadikan pedoman oleh hakim saat mereka mengadili perkara yang melibatkan perempuan.
“Kami menemukan ada 5 hambatan penerapan Perma. Pertama, minimnya sosialisasi dan peningkatan kapasitas hakim; minimnya pemahaman mengenai hak PBH (perempuan berhadapan hukum); terbatasnya ketersediaan anggaran, sarana, dan prasarana pendampingan,” kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi seperti dikutip Antara, Rabu (15/12/2021).
Ia umenyampaikan 2 hambatan lainnya yang menyebabkan Perma No.3/2017 belum banyak dipakai oleh hakim saat mengadili perkara terkait perempuan, yaitu terbatasnya ketersediaan psikolog, penerjemah/ pendamping untuk perempuan disabilitas.
Terakhir, lemahnya atau tidak adanya koordinasi antarpemangku kepentingan dalam tata kelola proses peradilan pidana, ucap Siti Aminah.
5 hambatan penerapan Perma No.3/2017 merupakan salah satu hasil temuan Komnas Perempuan yang mempelajari implementasi peraturan itu di 5 provinsi, yaitu Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Maluku.
Kajian itu melibatkan total 40 informan/pihak yang diwawancara, yang di antaranya terdiri dari 22 hakim dan 18 pendamping. Wawancara mendalam terhadap para informan berlangsung selama 3 bulan pada Oktober-Desember 2020, sementara penyusunan laporan penelitian pada Januari-Maret 2021.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy menerangkan kajian itu penting karena tujuannya untuk mengetahui efektivitas serta optimalisasi penerapan Perma No.3/2017, terutama di 5 provinsi yang jadi lokasi penelitian.
Ia menyampaikan Komnas Perempuan berharap hasil penelitian, yang telah diterbitkan dalam 5 buku dan satu kertas kebijakan, dapat menjadi temuan awal untuk kajian-kajian lebih mendalam ke depannya, serta jadi penganjur bagi para hakim untuk memaksimalkan penggunaan Perma No.3/2017.
Menurut dia, Perma No.3/2017 penting jadi pedoman bagi para hakim demi memastikan tidak adanya diskriminasi berdasarkan gender dalam praktik peradilan di Indonesia.
“Terbitnya Perma jadi titik terang bagi(perempuan) korban di tengah stagnannya pembaruan hukum acara pidana,” kata Olivia.
Ia menambahkan Perma No.3/2017 juga mempermudah perempuan, terutama mereka yang menjadi korban untuk mengakses keadilan.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendorong Mahkamah Agung untuk melakukan sosialisasi Perma No.3/2017 dan menerapkan pengawasan pelaksanaan aturan itu secara bersusun.
Komnas Perempuan juga mendorong MA memasukkan Perma No.3/2017 ke dalam materi pendidikan calon hakim dan menyediakan buku pedoman mengadili perkara yang melibatkan perempuan berhadapan hukum(PBH). (mg4)