Ekonomi

Perumda ini Catat Laba Bersih Rp27,33 Miliar di 2024, Begini Catatan Ekonom

INDOPOSCO.ID – Ekonom M Peter melihat laporan keuangan perusahaan, di atas kertas Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pembangunan Sarana Jaya pada 2024 mencatatkan laba bersih Rp27,33 miliar. Namun, menurutnya, laporan keuangan dan dokumen pengesahan yang diperoleh jauh dari sehat.

“Ekuitas perusahaan tercatat minus Rp52,55 miliar dibandingkan modal disetor, menandakan kerugian masa lalu belum tertutup sebagaimana diatur dalam PP No.54/2017 tentang BUMD (Badan Usaha Milik Daerah),” kata Peter dalam keterangannya, Sabtu (23/8/2025).

Ia mempertanyakan masalah keuangan dengan keputusan-keputusan manajemen tersebut. Seperti alasan efisiensi, perusahaan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terhadap sejumlah pegawai.

Namun ironisnya, lanjut dia, perekrutan pegawai baru justru dilakukan dalam jumlah lebih banyak.

“Kebijakan kontradiktif ini memunculkan dugaan bahwa efisiensi hanya menjadi dalih tanpa strategi konsolidasi yang jelas,” kata Peter.

Ia menyebut, salah satu temuan audit paling mencolok adalah piutang sebesar Rp68,56 miliar kepada PT Kuala Jaya Realty (KJR) yang sudah macet lebih dari 90 hari. Skema pembayaran yang diusulkan Sarana Jaya tidak diterima pihak KJR, dan kesepakatan resmi tidak pernah tercapai.

Menurut Peter, sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71, piutang macet seperti ini seharusnya di-impairment (penurunan nilai) penuh sebagai cadangan kerugian. Namun manajemen memilih tidak mencatatkan beban tersebut, hanya mengandalkan komitmen KJR untuk membayar Rp2 miliar hingga akhir 2024.

Lebih jauh Peter mengungkapkan, dalam akun aktiva lain-lain, tercatat tanah Pondok Rangon/Munjul senilai Rp151,22 miliar yang terjerat kasus korupsi dan sudah inkrah. KPK tengah memproses hibah aset rampasan negara kepada Pemprov DKI, namun sampai saat ini belum ada surat resmi persetujuan pengembalian nilai aset tersebut kepada Sarana Jaya.

“Manajemen secara sepihak menyatakan yakin pengembalian nilai akan dilakukan, baik dalam bentuk pengurangan PMD atau aset lain. Sikap ini dinilai sebagai pengambilan risiko besar tanpa dasar administratif yang kuat,” terangnya.

Tak hanya itu, masih ujar dia, Proyek Fasilitas Pengolahan Sampah Antara (FPSA/ITF) yang digarap Sarana Jaya berdasarkan penugasan Gubernur DKI Jakarta pada 2020 pun saat ini mandek setelah Pemprov memprioritaskan pembangunan Refuse Derived Fuel (RDF).

Padahal, lanjut Peter, dana pra-operasi sudah digelontorkan mencapai Rp38,91 miliar.

“Tanpa pencadangan kerugian, nilai tersebut berpotensi menjadi sunk cost yang membebani laporan keuangan di masa depan,” ungkapnya.

Peter melihat kondisi tersebut disebabkan kurangnya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antara Sarana Jaya dengan Pemprov Jakarta. Menurutnya, pola pengambilan kebijakan Sarana Jaya cenderung sporadis, kebijakan strategis diambil hanya berdasar keyakinan internal manajemen, bukan pada persetujuan resmi dari pemilik modal.

“Temuan ini diperkuat fakta pengesahan laporan tahunan 2024 dilakukan dengan poin-poin yang tidak sepenuhnya selaras dengan peraturan, termasuk penggunaan dana pensiun dan sosial yang tidak dianggarkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) namun disahkan sebagai biaya perusahaan,” ujarnya.(nas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button