Perang Dagang Amerika dan Tiongkok, Analis: Indonesia Harus Tentukan Masa Depan Dunia

INDOPOSCO.ID – Lebih dari lima dekade dunia berada dalam hegemoni Amerika Serikat, penguasa dolar, pengendali energi, dan pengatur lalu lintas perdagangan global. Namun sejak 2017, setelah 35 tahun membangun kekuatan ekonominya secara sistematis dan tenang, Tiongkok mulai menyaingi dominasi tersebut.
Pascapandemi Covid-19, negara Tiongkok melesat dalam teknologi, kesehatan, militer, hingga sistem pembayaran global melalui konsolidasi BRICS. “Perang dagang Amerika dan Tiongkok bukan sekadar persaingan ekonomi, tapi benturan dua sistem besar,” ujar Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care (HAC) dan Haidar Alwi Institute (HAI), Sabtu (5/7/2025).
Dan, menurutnya, Indonesia harus memilih, menjadi penonton perang dagang Amerika Tiongkok, atau ikut menentukan arah masa depan dunia. Strategi pelemahan dolar oleh Amerika bertujuan menghidupkan kembali industrinya.
“Ini membuka celah bagi negara-negara seperti Indonesia untuk membangun fondasi baru, asal ada keberanian untuk berubah,” katanya.
Ia mengatakan, Amerika saat ini mencoba menghidupkan kembali ekonomi militernya melalui ketegangan geopolitik. Salah satunya adalah serangan terhadap Iran pada masa Trump. Langkah itu, menurutnya, sempat diduga akan menjadi alat untuk mendorong permintaan senjata, sebagaimana pola lama Amerika di berbagai konflik.
“Hasilnya justru sebaliknya, waktu menyerang Iran yang muncul bukan legitimasi, tapi kecaman. Bukan hanya dari dunia internasional, tapi juga dari dalam negeri mereka sendiri,” jelasnya.
“Dunia tak lagi menyambut perang dengan dukungan. Maka strategi ekonomi menjadi pilihan, bukan lagi menguasai dunia dengan senjata, tetapi dengan harga yang lebih kompetitif,” sambungnya.
Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa pelemahan dolar bukanlah tanda kelemahan Amerika, melainkan strategi sadar untuk menghidupkan ekspor dan industri dalam negeri. Ketika produk Amerika tak bisa bersaing dengan barang-barang murah dari Tiongkok, maka yang paling logis adalah membuat dolar lebih murah.
“Dolar bisa turun ke Rp14.000 bahkan Rp13.000. Ini bukan karena rupiah menguat, tapi karena Amerika sedang membalik strategi mereka,” ungkapnya.
“Bagi Indonesia, pelemahan dolar memberi dampak ganda. Produk AS akan lebih murah dan pasar lokal bisa terganggu, jika tak ada perlindungan yang bijak dan adil,” imbuhnya.
Namun, lanjut dia, jika dikelola dengan cerdas, momentum tersebut juga bisa membuka ruang fiskal dan memperkuat sektor produksi dalam negeri. Di tengah ketidakpastian global, menurutnya, Indonesia justru menyimpan kekuatan besar yang belum digarap maksimal.
Seperti produk domestik bruto (PDB) mendekati Rp24.000 triliun, populasi 280 juta jiwa, mayoritas usia produktif, cadangan nikel terbesar dunia, ditambah emas, batu bara, migas, dan panas bumi, posisi strategis di jalur dagang dan maritim internasional dan bonus demografi terbesar di Asia Tenggara.
“Tapi semua itu tidak berarti tanpa kedaulatan dalam pengelolaannya. Kita harus berhenti menjual mentah dan membeli mahal,” katanya.
“Indonesia perlu mengelola sendiri kekayaan alamnya, dan membangun industrinya dengan percaya diri,” sambungnya.
Dia mengusulkan kepada pemerintah lima langkah strategis untuk memperkuat pondasi ekonomi nasional. Mulai, dana pembangunan berbasis komoditas strategis, pasar inovasi nasional berbasis karya anak bangsa, koperasi digital untuk kepemilikan tambang dan hilir industri.
Dan, rupiah digital lokal untuk transaksi domestik dan pembaruan kurikulum ekonomi di sekolah menengah. “Menjelang usia 80 tahun Indonesia tidak kekurangan sumber daya dan tidak kekurangan kecerdasan. Hanya butuh keberanian untuk bertindak, dan kemauan kolektif untuk berdiri di atas kaki sendiri,” tegasnya. (nas)