SKK Migas dan KKKS Tingkatkan Nilai Tambah Produksi Gas Own Use dan Flare Gas Menjadi LNG dan LPG

INDOPOSCO.ID – Penggunaan gas di industri hulu migas cukup besar, baik fuel gas untuk penggunaan secara langsung (own use) untuk kebutuhan operasional seperti konsumsi peralatan/fasilitas produksi maupun yang dibakar dalam bentuk flare gas karena sebagai impurities.
Dalam Rapat Kerja Produksi, Metering dan Pemeliharaan Fasilitas 2024, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) membahas upaya mengurangi zero routine flaring serta upaya meningkatkan nilai tambah produksi gas dengan memanfaatkan gas yang memiliki potensi untuk dijadikan produk turunan menjadi LNG (liquefied natural gas) dan LPG (liquified petroleum gas).
Saat ini terdapat 370 flare gas stack nasional dengan total volume flare gas sebesar 207 MMSCFD dengan komposisi Metana (C1) sebesar 72,55 persen dan impurities CO2 sebesar 7,33 persen. Beberapa KKKS memiliki volume flare gas cukup besar seperti Pertamina EP, Pertamina Hulu Mahakam, BP Berau dan Pertamina EP Cepu.
Begitupula volume penggunaan fuel gas untuk own use serta gas impurities. Hal ini menjadi tantangan bagi SKK Migas dan KKKS untuk mencapai target zero routine flaring sebelum 2030 maupun optimisasi penggunaan fuel gas yang diantaranya mengganti fuel gas dengan listrik yang berasal dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Deputi Eksploitasi SKK Migas Wahju Wibowo pada acara tersebut mengatakan, saat ini SKK Migas mempunyai program konversi penggunaan fuel gas menjadi pasokan listrik yang berasal dari PLN untuk sistem penggerak di Kilang LNG Bontang.
“Jika langkah ini bisa direalisasikan, maka fuel gas yang digunakan di Kilang LNG Bontang yang mencapai 32 MMSCFD bisa dimanfaatkan dan dikomersialisasikan dalam bentuk gas pipa maupun dikonversi lebih lanjut yang memiliki nilai tambah seperti LNG,” ujarnya, seperti dikutip, Minggu (9/6/2024).
Namun Wahju menyampaikan,proses konversi fuel gas menjadi pasokan listrik dari PLN tidak mudah, tetapi optimis untuk dapat direalisasikan. Salah satu tantangannya adalah kebutuhan daya untuk hulu migas lebih tinggi dibandingkan kapasitas daya yang dimiliki oleh PLN saat ini sehingga tentu perlu investasi peralatan/fasilitas operasi dari sisi PLN.
Dia menegaskan yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan ketersediaan pasokan listrik PLN agar 100 persen reliable dan dijamin tidak ada sama sekali pemadaman.
Di era transisi energi, peranan hulu migas akan semakin dibutuhkan, utamanya adalah gas. Oleh karenanya, Wahju mengingatkan agar engineer hulu migas berpikir secara out of the box bagaimana agar gas tidak hanya dijual dalam bentuk gas semata, tetapi dijual dalam produk gas turunan yang lebih bernilai seperti LPG.
“Memang ada proses yang harus dilakukan lagi dan investasi yang lebih banyak, tetapi dengan potensi hasil yang jauh lebih tinggi. Ketika bisa dilakukan zero routine flaring, dan juga optimisasi penggunaan fuel gas, apakah kemudian dari gas tersebut bisa diambil kandungan C3 dan C4 sebagai LPG, karena bisa dijual lebih mahal,” imbuh Wahju.
Lebih lanjut, dia menginformasikan jika selama ini harga gas dijual dengan harga sekitar 12 persen di atas Indonesia Crude Price (ICP) atau sekitar USD8 per MMBTU (Million British Thermal Unit), jika bisa dikonversi menjadi LPG maka harganya bisa menjadi sekitar USD27 per MMBTU.
Oleh karenanya, tantangan industri hulu migas adalah bagaimana bisa mengkreasi potensi gas agar memiliki nilai tambah yang lebih besar yang tentunya memberikan potensi pendapatan bagi KKKS.
“Saya memberikan tantangan bagi KKKS agar flare gas bisa dikonversi menjadi produk gas turunan berupa LPG. Tentu ada tahapan yang harus dibahas lebih mendalam, ada assessment agar tidak mengganggu operasional yang ada termasuk investasinya. Jika bisa mengambil dari flare gas yang biasanya terdapat kandungan komposisi C3 dan C4 sebagai LPG, maka KKKS akan mendapatkan tambahan pendapatan, pasokan LPG ke rakyat semakin bertambah dan Negara senang karena mengurangi impor. Mengingat saat ini 70 persen kebutuhan LPG masih impor,” terang Wahju.
“Jika SKK Migas dan KKKS mampu melakukan optimisasi penggunaan fuel gas untuk operasi produksi, mengkonversi flare gas menjadi produk turunan gas berupa LPG dan lainnya, maka ada manfaat langsung secara ekonomi yang diterima KKKS, dan menjadi langkah nyata industri hulu migas untuk mengurangi impor LPG yang saat ini telah membebani keuangan negara. Ini menjadi wujud nyata kontribusi hulu migas dalam mendukung program ketahanan energi. Bagaimana hulu migas bisa berkontribusi dengan membantu penyediaan LPG di daerah wilayah operasi melalui langkah-langkah yang saya sebutkan tadi,” pungkasnya. (rmn)