Damai Ahok
Oleh: Dahlan Iskan
INDOPOSCO.ID – KALAU saja Anies jadi dicalonkan oleh PDI-Perjuangan untuk jabatan gubernur Jakarta, saya melihatnya dari dua sisi. Baik dan buruk.
Sisi baiknya: PDI-Perjuangan menunjukkan sikap kebangsaan yang luar biasa. Anies yang di masa lalu dicitrakan sebagai lambang ”kanan” dirangkul oleh partai yang dicitrakan sebagai ”kiri”.
Itu tidak hanya baik. Itu luar biasa baik. Bagi bangsa. Bagi pendidikan kebangsaan. Yang kanan bisa bergeser ke kiri. Yang kiri mau bergeser ke kanan.
Terbentuklah kekuatan kanan dalam dan kiri dalam.
Bahkan, kalau bisa, mereka bergeser ke tengah. Alangkah hebatnya bangsa ini.
Terlalu hebat. Tidak baik. Jangan juga berharap terlalu hebat seperti itu. Tidak harus semua pihak di tengah persis. Bisa di kiri dalam dan di kanan dalam pun sudah sangat bagus.
Dan itu bagi PDI-Perjuangan bukan hal baru. Abdullah Azwar Anas adalah kader NU murni. Sebelum lahir pun ia sudah NU. Ketika bayi ia jadi bayi NU. Anak NU. Pelajar NU. Pemuda Ansor NU. Politikus NU.
Berkat prestasinya Azwar Anas direkrut oleh PDI-Perjuangan. Ia dicalonkan jadi bupati Banyuwangi. Berhasil. Terpilih. Berhasil.
Mampu membangun Banyuwangi –bahkan setengah menyulapnya– dengan istimewa. Jadilah Banyuwangi model pembangunan kabupaten ideal di Indonesia.
Anas terus setia pada partai Banteng. Ia dicalonkan kembali untuk periode kedua. Terpilih lagi.
Selanjutnya Anda sudah tahu: nama Banyuwangi begitu harum. Pun istrinya ikut mendapat nama besar Anas: terpilih sebagai bupati Banyuwangi berikutnya.
PDI-Perjuangan masih ingin menjadikan Anas calon wakil gubernur Jatim. Sial. Ada jejak digital soal dada dan paha. Ia ejakulasi sebelum waktunya klimaks.
Anas adalah contoh ideal orang kanan yang bergeser ke kiri. Ia mau. Ia mampu. Tentu sebagai orang kanan ia tidak mungkin bergeser terlalu ke kiri. Jadilah ia orang tengah.
Posisi orang yang berada di tengah kadang sangat sulit. Seperti terjepit. Oleh kanan ia dianggap “murtad”. Oleh kiri ia dianggap masih “munafik”.
Kadang posisi seperti itu sangat menyiksa. Tapi ada juga nikmatnya di posisi dijepit.
Saya bisa membayangkan betapa sulit posisi Anas di saat Jokowi dan Megawati berseberangan. Sebagai orang tengah ia terlihat berhasil bermain sebagai safety player.
Sebagai partai terbuka PDI-Perjuangan membuktikan diri bisa membuka diri untuk siapa saja.
Tentu akan banyak suara keberatan dari kubu PDI-Perjuangan sendiri. Terutama dari kubu kader militan. Yang seumur hidup mereka membela partai. Yang semua risiko sudah diambil demi partai. Kok ketika tiba masanya panen, hasil panen itu diberikan kepada orang lain.
Mereka tentu marah. Pun sampai gondok. Atau sebaliknya.
Orang seperti Ahok –yang sampai berani berseberangan dengan Jokowi demi partai– mungkin bisa mewakili perasaan yang paling marah. Apalagi ia punya sejarah luka yang dalam dengan Anies.
Kalau jadi Anies dicalonkan oleh PDI-Perjuangan saya sangat berdebar menantikan apa yang akan dilakukan orang seperti Ahok.
Itulah sisi buruknya. Wassalam.
Ups…bukan hanya itu. Ada sisi buruk yang lain. Yakni apabila niat pencalonan Anies hanyalah sebatas untuk membalas dendam kepada kubu Jokowi.
Semua agama mengajarkan: dendam tidak menyelesaikan persoalan. Dendam adalah musuh kedamaian. Negara ini harus damai. Rakyat harus damai.
Semoga semua makhluk hidup penuh dengan damai.(Dahlan Iskan)
Komentar Dahlan Iskan di Disway Edisi 25 Agustus 2024: Sutradara Agung
Amat K.
Namanya juga menebak: bisa benar bisa salah. Yang punya banyak topeng sulit dibaca ekspresinya. Oh ya, setahu saya, ilmu yang membahas tanda itu semiotik. Mereka yang pintar membaca tanda adalah pakar semiotik. Menghubungkan tanda-tanda dengan makna kebiasaan -lazim- yang terjadi. Mendung bisa menjadi pertanda akan hujan. Mimik wajah sedih bisa jadi representasi kejiwaan yang sedang sedih. Tapi, saya paling ingat ini, “Tanda bisa digunakan untuk mengelabui”. Tengoklah para aktor dan aktris. Mereka “penipu” ulung. Lihai memainkan tanda. Di depan kamera berakting sedih, padahal, aslinya belum tentu sedih. Dia hanya berpura-pura. Mendung tidak pasti akan terjadi hujan, tapi kebiasaan sih hujan. Yang terlihat baik belum tentu baik. Terlihat jahat belum tentu jahat. Pemirsa perlu pandai membaca tanda-tanda itu agar tidak salah tafsir.
Achmad Faisol
pertanyaan sederhana yang didasarkan fakta, bukan tafsir: 1. mengapa gibran jadi wapres padahal sebelum putusan mk sang paman, dia ga berhak maju…? kalau ga niat, apa pun yang terjadi di mk ya ga maju… 2. mengapa kaesang mengurus surat ke pengadilan untuk maju pilkada jateng…? janganlah baik sangka kita dimanfaatkan orang untuk menipu kita… di dunia hacking ini disebut social engineering… janganlah jadi orang lugu, mudah ditipu… kalau lugu, sejarah kita pun akan dengan mudah diubah orang lain seperti ramai di internet sampai pak mahfud md ikut komentar… kata bang napi, waspadalah, waspadalah…
Er Gham
Saya pak. Saya sutradara semuanya. Saya ngaku deh di sini. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Xixixi..
Gusti Mboten Sare