Sembahyang Rebutan
INDOPOSCO.ID – Senam itu sudah ditunda setengah jam. Belum juga memenuhi kuorum. Perusuh Disway Pontianak belum ada yang datang. Padahal tanpa mereka kurang seru.
Senam pun dimulai. Kebetulan hujan yang turun sejak sebelum subuh baru saja reda. Lebih 100 karyawan BPN Kalbar juga sudah tiba –dipimpin langsung Kepala BPN-nya, Dr Andi Tenri Abeng. Merekalah penyelenggara senam itu: untuk merayakan hari kemerdekaan.
Tidak akan saya ceritakan peristiwa malam sebelumnya. Saat pesta durian. Ini memang belum musim durian di Pontianak. Tapi raja durian tidak hanya tumbuh di sekitar Pontianak.
Masih ada durian raja diraja di Kalbar. Ia tumbuh di perbatasan dengan Serawak. Namanya: Durian Balai Karangan. Lebih hebat dari raja mana pun.
Selesai senam saya bergegas ke bandara. Ini musim padat penumpang. Banyak orang Tionghoa asal Pontianak pulang kampung.
“Ini kan hari raya Cingbing. Banyak orang ke makam,” ujar sahabat Disway di Pontianak. Ia orang Melayu. Tidak begitu paham budaya Tionghoa.
“Ini ramai bukan karena Cingbing,” kata saya.
“Cingbing,” tukasnya sok tahu.
“Ini hari raya Rebutan,” kata saya.
Tentu saya tahu itu. Tiap tahun saya diundang sembahyang hari raya Rebutan. Hari itu pun saya buru-buru ke bandara terkait dengan hari raya Rebutan. Kali ini saya sudah menyanggupi untuk hadir.
Kali ini saya harus hadir. Sudah sejak 17 tahun lalu saya selalu diundang.
Selalu saja absen. Pernah diwakili oleh istri. Kali ini akan hadir sendiri.
Kenapa saya selalu diundang?
Salah satu arwah yang didoakan di hari raya Rebutan di vihara ini memang ada hubungannya dengan saya. Yakni arwah almarhum yang hatinya, saat ini, berada di dalam tubuh saya.
Saya sendiri tidak tahu namanya. Juga tidak tahu asal usulnya. Saya hanya tahu ia orang Tianjin. Umurnya, saat meninggal, 20 tahun.
Begitu meninggal, hati anak muda itu diambil. Dilarikan ke rumah sakit 天津十一中心医院.
Saya berada di salah satu kamar RS itu. Di lantai 11. Saya cepat-cepat dimasukkan kamar operasi.
Hati saya yang sudah penuh kanker diambil. Dikeluarkan.
Hati anak muda yang masih sangat muda itu dimasukkan ke dada saya. Hati anak muda itu menggantikan hati lama saya yang terkena kanker hati.
Itu 17 tahun yang lalu.
Begitu saya masuk ruang operasi puluhan umat Buddha di Surabaya berkumpul di vihara Kenjeran. Mereka menyalakan lilin. Berdoa. Selama delapan jam. Sampai operasi ganti hati selesai.
Sejak itu arwah si anak muda selalu dimasukkan dalam daftar arwah yang didoakan di Vihara Sanggar Agung tersebut.
Di hari raya Rebutan itu ratusan orang berkumpul di Sanggar Agung. Juga di kelenteng-kelenteng. Itulah hari ketika para setan dilepaskan dari belenggu.
Mereka akan mengganggu arwah siapa pun.
Vihara Sanggar Agung dibangun di pinggir pantai Kenjeran. Yang membangunnya adalah sahabat baik saya: Soetijadi Yudo.
Ia pengusaha besar. Awalnya hanya jualan permen. Keliling kampung-kampung. Lalu punya pabrik permen. Berkembang terus ke usaha-usaha lainnya.
Malam itu bulan hampir purnama. Saat sembahyang akan dimulai bulan bulat muncul dari permukaan laut dengan menornya.
Di atas altar tiga banthe (ulama Buddha) memimpin sembahyang. Mereka membaca kitab suci.
Nama-nama arwah yang didoakan ditulis dan dipajang di empat meja. Dua meja di kanan. Dua di kiri. Salah satu tulisan itu berbunyi: arwah donor hati Dahlan Iskan.
Sebelum sembahyang dimulai saya mendekat ke meja itu. Saya angkat kertas itu. Saya doakan dengan cara saya. Lalu saya letakkan kembali.