INDOPOSCO.ID – Langkah Indonesia menuju masa depan energi bersih kian dipercepat, seiring tekad pemerintah menjadikan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai fondasi utama transisi energi nasional menuju target Net Zero Emission tahun 2060.
Komitmen tersebut kembali ditegaskan dalam ajang Energy and Infrastructure Thought Series Discussion Series VII 2025 bertajuk “Pemantik Bisnis Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral 2026, Dari Hilirisasi Hingga Transisi” yang digelar di Jakarta, Senin (15/12/2025).
Dalam forum itu, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang diwakili oleh M. Wahyu Jasa Diputra menyampaikan penguatan energi bersih tidak hanya menjadi agenda lingkungan, tetapi juga kunci ketahanan energi nasional.
Menurut Wahyu, arah kebijakan tersebut selaras dengan agenda swasembada energi serta komitmen penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor energi. Indonesia, lanjutnya, dianugerahi sumber daya energi terbarukan yang melimpah dan tersebar luas dari barat hingga timur nusantara.
Potensi energi baru dan terbarukan (EBT) nasional diperkirakan mencapai sekitar 3.687 gigawatt, didominasi oleh tenaga surya, tenaga air, angin, dan panas bumi. Namun besarnya potensi tersebut belum sepenuhnya terkonversi menjadi pasokan energi yang optimal karena masih terkendala sejumlah tantangan struktural.
“Pemerintah menilai optimalisasi potensi ini krusial untuk memenuhi kebutuhan energi jangka panjang sekaligus mengurangi ketergantungan pada energi fosil,” ujar Wahyu.
Dalam peta jalan menuju Net Zero Emission 2060, pemerintah menempatkan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai strategi inti, bersanding dengan percepatan elektrifikasi sektor transportasi dan rumah tangga, serta penerapan efisiensi energi secara masif. Di sisi lain, gas alam tetap diposisikan sebagai energi transisi guna menjaga keandalan sistem kelistrikan nasional.
Tak berhenti di sana, pemerintah juga mulai menyiapkan teknologi rendah karbon jangka panjang, seperti carbon capture, utilization and storage, hidrogen, hingga energi nuklir, sebagai bagian dari diversifikasi bauran energi masa depan.
Wahyu memaparkan bahwa hingga Semester I tahun 2025, bauran energi baru dan terbarukan nasional telah mencapai sekitar 16 persen, atau meningkat 1,35 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pada rentang waktu tersebut, kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan bertambah sekitar 1,15 gigawatt, terutama berasal dari pembangkit listrik tenaga air dan pembangkit listrik tenaga surya.
Meski mencatat tren positif, capaian itu dinilai masih perlu digenjot agar sesuai dengan target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 17 hingga 20 persen sebagaimana diamanatkan dalam Kebijakan Energi Nasional.
Ke depan, pemerintah memproyeksikan kebutuhan investasi di sektor energi baru dan terbarukan hingga tahun 2034 mencapai lebih dari Rp1.600 triliun. Investasi tersebut tidak hanya berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan sekitar 760 ribu lapangan kerja hijau serta menurunkan emisi hingga 129 juta ton karbondioksida.
Menutup pemaparannya, Wahyu menegaskan bahwa percepatan transisi energi tidak bisa berjalan sendiri. Sinergi antara pemerintah, badan usaha milik negara, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat luas menjadi kunci agar transformasi energi nasional mampu berjalan seimbang antara ketahanan energi, keterjangkauan harga, dan keberlanjutan lingkungan.
Dengan langkah yang semakin terarah dan kolaboratif, Indonesia menapaki jalan panjang menuju masa depan energi yang lebih bersih, mandiri, dan berkelanjutan. (her)









