INDOPOSCO.ID – Ketimpangan antara konsumsi dan produksi energi nasional kian menganga. Di saat kebutuhan minyak terus melesat, kemampuan produksi dalam negeri justru tertinggal jauh, memaksa Indonesia bergantung pada impor. Kondisi inilah yang mendorong pemerintah mempercepat langkah strategis untuk menjaga ketahanan energi nasional.
Koordinator Eksploitasi Migas Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, Maruf Afandi, menegaskan bahwa optimalisasi produksi minyak dan gas bumi (migas) kini menjadi agenda utama pemerintah.
“Peningkatan produksi migas menjadi prioritas strategis di tengah konsumsi domestik yang terus melampaui kapasitas produksi nasional,” ujar Maruf dalam diskusi energi di Jakarta, Senin (15/12/2025).
Ia memaparkan, konsumsi minyak nasional telah menyentuh angka sekitar 1,6 juta barel per hari. Sementara itu, produksi dalam negeri masih berkisar di angka 600 ribu barel per hari. Selisih yang lebar tersebut menjadi sumber utama defisit energi sekaligus peningkatan impor minyak mentah dan produk BBM.
Untuk sektor gas, situasinya relatif lebih terkendali. Produksi nasional sekitar 6.500 juta kaki kubik per hari dinilai masih mencukupi. Namun, tantangan besar muncul pada ketersediaan dan pemerataan infrastruktur agar pasokan gas dapat menjangkau kebutuhan pembangkit listrik, industri, hingga rumah tangga.
Menjawab persoalan tersebut, pemerintah menggenjot aktivitas hulu migas melalui pembukaan wilayah kerja baru dan revitalisasi aset lama. “Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah mendorong eksplorasi secara masif dengan membuka lebih dari 75 blok migas potensial, serta mereaktivasi sekitar 4.500 sumur dan lapangan idle,” jelasnya.
Tidak hanya bergantung pada pembukaan blok baru, lapangan produksi yang telah beroperasi juga dioptimalkan dengan sentuhan teknologi mutakhir.
“Optimalisasi lapangan produksi juga dilakukan melalui penerapan teknologi lanjutan seperti multi-stage fracturing, horizontal drilling, dan berbagai metode enhanced oil recovery (EOR) guna meningkatkan recovery factor dari lapangan eksisting,” ungkapnya.
Dari sisi kebijakan, pemerintah juga melakukan pembenahan fundamental guna memperbaiki iklim investasi hulu migas. Fleksibilitas kontrak dan berbagai insentif fiskal diperkenalkan untuk meningkatkan daya tarik proyek eksplorasi dan pengembangan.
Skema kontrak cost recovery dan gross split yang diperbarui, pembebasan pajak tidak langsung pada fase eksplorasi, serta percepatan perizinan melalui regulasi baru—termasuk Peraturan Menteri ESDM No.14 Tahun 2025—diharapkan mampu memperbaiki keekonomian proyek sekaligus mempercepat tambahan produksi nasional.
Ke depan, sinergi lintas pelaku menjadi kunci akselerasi produksi. Pemerintah membuka ruang kolaborasi yang lebih luas antara kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), mitra teknologi, dan investor.
“Ke depan, pemerintah menargetkan akselerasi produksi melalui kolaborasi antara kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan mitra teknologi maupun investor, termasuk melalui kerja sama operasi dan pengelolaan sumur tua,” jelasnya.
Namun Maruf mengingatkan, strategi ini tidak akan berjalan efektif tanpa kepastian regulasi, kecepatan adopsi teknologi, serta koordinasi yang solid antarlembaga.
“Keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada percepatan adopsi teknologi, kepastian regulasi, serta koordinasi erat antara Kementerian ESDM, SKK Migas, dan pelaku industri untuk memastikan peningkatan lifting migas berjalan berkelanjutan,” tambahnya.
Di tengah tantangan defisit energi yang kian nyata, langkah-langkah ini menjadi taruhan besar pemerintah agar produksi migas nasional tak hanya bertahan, tetapi kembali menemukan momentumnya. (her)









