INDOPOSCO.ID – Kasus tragis seorang ibu dan janin yang kehilangan nyawa setelah ditolak hingga empat rumah sakit di Jayapura, Papua, kembali menampar nurani bangsa, sampai kapan nyawa manusia tunduk pada birokrasi dan alasan ekonomi?
Insiden memilukan itu terjadi ketika keluarga pasien berkeliling dari satu rumah sakit (RS) ke RS lain pada hari yang sama demi mencari pertolongan medis. Namun yang mereka dapat justru serangkaian penolakan. Salah satu RS bahkan menyatakan siap menerima pasien asal membayar uang muka Rp 4 juta, dengan dalih bahwa ketersediaan kamar untuk pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah penuh.
Tragedi tersebut memantik sorotan tajam publik. Tidak hanya karena hilangnya dua nyawa, namun karena persoalan ini menyentuh akar terdalam sistem pelayanan kesehatan: kemanusiaan, aturan konstitusional, serta kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.
Pegiat Perlindungan Konsumen sekaligus Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, menilai insiden ini bukan sekadar kelalaian. Ia menegaskan bahwa pelayanan kesehatan memiliki dasar moral yang tidak bisa dinegosiasikan.
“Pelayanan kesehatan basisnya adalah kemanusiaan. Jadi siapa pun, baik secara profesional dan atau institusional, tidak boleh menolak pasien yang meminta pertolongan dan pengobatan. Apalagi jika pasien tersebut terancam jiwanya jika tidak ditolong,” ujar Tulus melalui gawai, Kamis (27/11/2025).
“Terhadap kasus pasien di Jayapura tersebut, maka seharusnya pihak RS menolong pasien dulu dengan pertolongan pertama, karena keselamatan pasien (patient safety) harus menjadi prioritas utama dan pertama. Jadi keempat RS di Jayapura sehingga berdampak meninggal dunia, adalah pelanggaran kemanusiaan,” lanjutnya.
Menurutnya, apa yang terjadi di Jayapura bukan hanya memprihatinkan, tetapi juga jelas melanggar regulasi. Tulus menegaskan bahwa tindakan menolak pasien bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2024 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur sistem kesehatan nasional.
Pelanggaran itu, katanya, setidaknya dapat dikategorikan ke dalam tiga ranah hukum. Pertama yakni pelanggaran administratif. Rumah sakit dapat dijatuhi sanksi pencabutan izin operasional, baik oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pemerintah provinsi (Pemprov), maupun pemerintah kota (Pemkot) Jayapura.
Kedua yaitu pelanggaran keperdataan, yang mana dalam hal ini tenaga kesehatan dan pihak rumah sakit bisa digugat secara perdata untuk memberikan ganti rugi kepada keluarga pasien berdasarkan kerugian yang ditimbulkan.
Dan ynag ketiga yakni pelanggaran pidana. Penolakan terhadap pasien gawat darurat termasuk delik pidana.
“Pihak kepolisian bisa melakukan tindakan pro justitia/penyelidikan, atas dugaan pidana tersebut. Dan kasus ini bukan kasus pidana/delik aduan, jadi polisi tidak perlu menunggu aduan dari korban/keluarga pasien.” jelas Tulus.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menyatakan akan melakukan investigasi menyeluruh, dan Tulus menilai langkah itu sudah tepat. Ia menegaskan bahwa penyelidikan mesti mencakup seluruh aspek: administratif, perdata, hingga pidana, tanpa keraguan atau ambigu dalam menetapkan sanksi.
Lebih jauh, Tulus mendorong agar Kemenkes tidak hanya fokus pada kasus Jayapura. Ia menilai fenomena serupa sangat mungkin terjadi di daerah lain, terutama di RS tipe D yang memiliki keterbatasan fasilitas dan sumber daya. Karena itu, ia meminta adanya peningkatan pengawasan yang lebih sistematis dan menyeluruh, bekerja sama dengan dinas kesehatan (Dinkes) daerah, organisasi profesi kesehatan, dan lembaga konsumen.
Pada akhirnya, tragedi di Jayapura ini bukan sekadar persoalan teknis pelayanan kesehatan. Ia menjadi cermin besar bagi seluruh tenaga medis, manajemen RS, hingga pembuat kebijakan. Tulus mengingatkan bahwa keselamatan pasien tidak boleh dikalahkan oleh alasan ekonomi, administrasi, atau kapasitas kamar RS.
“Bahwa pelayanan kesehatan adalah hak asasi bagi masyarakat/warga negara, dan pelanggaran yang dilakukan adalah pelanggaran kemanusiaan, pelanggaran konstitusional dan pelanggaran eksisting regulasi,” tambahnya.
Dan kini, setelah dua nyawa melayang dalam ketidakberdayaan, pertanyaannya kembali menggaung, apakah tragedi Jayapura akan menjadi titik perubahan, atau hanya satu catatan kelam lagi yang akan kita biarkan berlalu begitu saja? (her)









