INDOPOSCO.ID – Setelah menyusuri sungai Baliem, besoknya saya bertemu penulis buku antropologi ini: Theo Kossay. Ia antropolog kelahiran Wamena yang sudah selesai melakukan penelitian soal “perkawinan of the year 1973”: antara Obahorok (kepala suku Dani di lembah Baliem) dan wanita Amerika Wyn Sargent.
“Beberapa hal harus diluruskan,” ujar Kossay. Ia kini lagi mencari penerbit. Bukunya sendiri sudah selesai ditulis. Tinggal me-layout-nya Dan menemukan penerbitnya.
Obahorok sendiri sudah meninggal dunia, 1992. Pun enam orang istri lokal dan satu istri bulenya. Kepala suku Dani kini dijabat oleh anak Obahorok dari istri kedua.
Theo Kossay sampai SMP masih di Wamena. Lalu masuk SMA milik sesama lembaga pendidikan Katolik di Jayapura. Setelah itu ia kuliah filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya cabang Abepura, Jayapura: STF Fajar Timur.
Spesialisasi antropologinya diperoleh dari Universitas Gadjah Mada saat menempuh S-2. Lalu melakukan berbagai penelitian mengenai suku-suku di pedalaman Papua. Total 19 penelitian yang sudah ia lakukan. Enam di antaranya sudah ia tulis sebagai buku tapi masih sulit mencari penerbit.
Yang membuat Kossay masih masygul adalah: ia belum bisa menemukan satu orang perempuan bernama Samsuarni Syam. Ia ingin sekali wawancara wanita asal Aceh itu. Berbagai cara sudah ia lakukan tapi tidak berhasil melacak keberadaannyi.
Wanita itulah yang diajak Wyn Sargent ke Lembah Baliem. Sebagai orang Amerika, Wyn belum fasih berbahasa Indonesia. Dia ingin ada yang menerjemahkan Inggrisnya ke bahasa Indonesia. Ia bertemu Samsuarni –yang ketika itu bekerja di perusahaan perjalanan.
Samsuarni mau diajak ke Lembah Baliem. Dia ikut tinggal di rumah kepala suku Dani, sedikit di luar kota Wamena. Dialah saksi utama atas segala hal yang terjadi di rumah Obahorok. Termasuk soal hubungan suami istri kepala suku itu dengan Wyn Sargent.
“Apakah Obahorok yang selalu berkoteka benar-benar kumpul dengan Wyn Sargent sebagai suami isteri?” tanya saya.
“Saya tidak bisa jawab pasti. Saya tulis di buku saya itu apa yang saya temukan. Ternyata ada dua versi,” katanya.
Ada versi yang mengatakan mereka benar-benar serumah dengan Obahorok. “Tapi Wyn Sargent sendiri mengaku tidak pernah melakukannya,” kata Kossay. “Kan selalu ada penerjemah di rumah itu,” katanya.
Tentang enam istri Obahorok sendiri menurut penelitian Kossay tinggal di rumah yang terpisah-pisah tapi berdekatan dalam satu komplek.
Obahorok adalah kepala suku yang saat itu baru saja berhasil mendamaikan empat kepala suku di sekitarnya yang lagi berperang. Karena itu namanya menjadi sangat harum di mata suku-suku asli pegunungan Jayawijaya.
“Wyn sendiri mengatakan kagum dengan keberhasilan perdamaian itu. Makanya dia semacam ingin memberikan penghargaan dengan cara mau menikah dengan Obahorok,” ujar Kossay.
Menurut Kossay, Wyn Sargent adalah penganut agama Quaker. Anda sudah tahu apa itu Quaker. Agama Perdamaian. Agama pertemanan. Tidak suka konflik.
Awalnya itu lahir tahun 1600-an di Inggris. Mereka adalah orang yang muak dengan konflik di sebuah agama. Mereka adalah pribadi-pribadi yang hatinya bergetar (quak) di hadapan Tuhan. Karena itu berhubungan dengan Tuhan bisa dilakukan masing-masing pribadi tanpa harus lewat agama atau pendeta.
Kelompok ini dianggap aliran sesat. Dimusuhi gereja. Ada yang dihukum. Mereka juga menentang membayar perpuluhan ke gereja. Konon ada sekitar 500.000 orang penganut Quaker sekarang ini –kebanyakan di Amerika Serikat.
Kossay bercerita, pada dasarnya Wyn Sargent ke Lembah Baliem karena penugasan. Yang menugaskan, katanya, Presiden Soeharto. Waktu itu pemerintah sedang melancarkan program pemberantasan koteka’ –tanpa saya diskripsikan pun Anda sudah tahu apa itu koteka.
Presiden Suharto, katanya, terkesan dengan apa yang dicapai Wyn Sargent di Kalimantan. Yakni berhasil membina suku Dayak dengan pendekatan antropologi. Lewat budaya.
Di Kalimantan, kata Kossay, Wyn berhasil mendidik masyarakat Dayak di bidang pendidikan dan kesehatan. Maka Wyn dianggap akan bisa berbuat yang sama di Lembah Baliem.
“Pemberantasan koteka gagal karena tidak lewat budaya,” ujar Kossay. “Hanya ada perintah tanggalkan koteka. Tapi tidak diberi celana. Tidak ada juga pendidikan bagaimana mencuci celana,” ujar Kossay.
Maka, kata Kossay, perlu orang seperti Wyn Sargent. Yakni yang mau tinggal bersama suku asli. Ikut memahami budaya lokal, makan bersama, tinggal bersama. “Seperti yang dilakukan Elizabeth Meat di Samoa,” ujar Kossay.
Yang dilakukan Wyn di Lembah Baliem lebih dari itu: sampai mengawini kepala sukunya. Sebagai istri kepala suku Wyn merasa akan bisa berbuat lebih banyak lagi.
Tapi kehebohan perkawinan itu sangat mendunia. Media asing menamakannya “Wedding of the Year 1973”. Sayang belum ada Indosiar saat itu bisa live berhari-hari.
Akhirnya Wyn Sargent dideportasi. Alasan yang resmi tidak terlalu jelas, tapi banyak aspek yang dispekulasikan di media. Salah satunya ada yang mengaitkannya dengan penelitian sperma. Yakni untuk mencari hubungan ras antara orang Papua dan orang Afrika.
Kesimpulan lain Kossay adalah: Wyn Sargent bukan seorang antropolog. Dia seorang jurnalis yang melakukan kegiatan jurnalisme dengan pendekatan antropologi.
Kini semakin banyak antropolog di Indonesia. Saya juga bertemu Prof Dr Mambraku. Ia antropolog lulusan Florida, Amerika Serikat. Ia kelahiran Raja Ampat tapi tinggal di Jayapura.
Prof Mambraku agak unik: kulitnya putih. Mengapa ada orang Papua kulitnya putih? “Banyak yang bertanya begitu. Tapi saya sendiri tidak tahu. Semua adik saya kulitnya sehitam baju bapak ini,” katanya.
Obahorok pernah dipanggil Presiden Soeharto ke istana di Jakarta. Tetap pakai koteka. Makannya pun tetap talas Wamena. Saya sudah mencoba talasnya belum kotekanya. (Dahlan Iskan)








