Oleh: Entang Sastraatmadja, Ketua Harian Dewan Pimpinan Daerah Himpunan (DPD) Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat
Sekarang ini banyak pejabat yang mendambakan negara atau daerah nya mampu mewujudkan swasembada pangan. Selama mereka menghayati apa yang menjadi pengertian pangan seperti yang tertuang dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, sebetul nya tidak menjadi masalah.
Yang kita khawatirkan, jika mereka memiliki persepsi bahwa pangan itu identik dengan beras. Atau pangan itu sama dengan tanaman pangan. Ini yang penting untuk diluruskan. Sangat berbahaya jika pejabat bicara keliru saat mulut nya berbusa-busa membicarakan pembangunan pangan. Membedakan swasembada beras dengan swasembada pangan saja masih belum bisa.
Dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dijelaskan bahwa pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Mengacu pada pengertian diatas, maka swasembada pangan dapat diartikan mampu memenuhi kebutuhan sendiri dari negeri sendiri dan mampu memberi kepada negeri lain. Sedangkan menurut ketetapan Lembaga Pertanian dan Pangan Dunia (Food and Agriculture/FAO) 1984, suatu negara dikatakan swasembada pangan jika produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional.
Kita sendiri belum pernah meraih swasembada pangan. Yang kita capai pada tahun 1984 lalu adalah swasembada beras. Bukan swasembada pangan. Lalu, muncul pertanyaan bagaimana nasib swasembada beras hari ini? Mengapa setelah kita mampu berswasembada beras, kok saat ini masih mengimpor beras dari negara sahabat?
Saat ini negara kita masih tercatat sebagai importir beragam komoditas pangan. Setiap tahun kita masih mengimpor beras dengan jumlah yang bervariasi. Kita juga masih mengimpor daging sapi. Kita masih menggantungkan diri pada kedele dari Amerika. Bawang putih juga masih kita impor. Gula juga demikian.
Bahkan yang nama nya garam pun masih harus didatangkan dari luar negeri. Mencermati betapa banyak nya bahan pangan yang kita impor, maka jelas terkuak bahwa hasrat untuk berswasembada pangan, bukanlah hal yang cukup mudah untuk diraih.
Namun begitu, Pemerintah menganggap impor beberapa komoditas pangan tak menjadi halangan untuk swasembada pangan. Pasalnya, kebutuhan Indonesia atas beberapa komoditas tersebut, memang masih tinggi.
Berdasarkan data prognosa kebutuhan dan produksi oleh Kementerian Pertanian, terdapat tiga komoditas yang produksinya masih defisit. Pertama adalah kedelai defisit sebanyak 644.000 ton dengan perkiraan produksi 803 ribu ton sementara kebutuhan 1,4 juta ton.
Daging sapi dan kerbau pun defisit sekitar 115 ribu ton di mana produksinya mencapai 211 ribu ton dan kebutuhan sekitar 329.000 ton. Lalu kacang tanah masih defisit 118 ribu ton.
Sebagai semangat dan cita-cita, swasembada pangan harus terus digelorakan. Swasembada pangan, bukanlah hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Indonesia, memiliki kesempatan untuk meraih nya.
Bukti nyata nya, kita mampu menghipnotis warga dunia dengan kisah sukses menjadi negeri yang mampu berswasembada beras. Pertanyaan nya adalah bagaimana dengan komoditas pangan lain yang sekarang ini masih kita impor? Termasuk beras, yang kini harus kita impor lagi.
Memilukan sekali. Kita kembali ke masa sebelum proklamasi swasembada beras. Lalu, bagaimana langkah konkrit untuk menekan impor bahan-bahan diluar beras? Inilah yang penting untuk dibincangkan.
Upaya menghilangkan impor daging sapi atau kedele dalam kamus perdagangan dunia, rasa-rasa nya sangat sukar untuk diwujudkan dalam waktu yang relatif singkat. Untuk memulai nya kita butuh perencanaan yang matang dan didukung data yang berkualitas.
Perencanaan yang baik tentu tidak akan mancapai tujuan yang diinginkan, bila tidak ditopang oleh penganggaran yang layak. Itu sebab nya politik perencanaan dan politik anggaran, menjadi kata kunci pokok dalam menggapai swasembada pangan.
Swasembada Pangan, baik pemaknaan, kebijakan dan program nya, sebaik nya dipahami betul oleh para pengambil kebijakan di Pusat dan Daerah. Hal ini penting diutarakan agar mereka tidak gagal paham dengan swasembada pangan. Bayangkan, mau dibawa kemana bangsa ini, bila ada pemimpin nya yang salah kaprah dalam menafsirkan suatu paradigma. Apalagi bila hal itu, bartalian dengan urusan pangan.*








