INDOPOSCO.ID – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sikap terkait surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut kekhususan agama di lingkungan sekolah.
Dewan Pimpinan MUI menghargai sebagian SKB yang ditanda tangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag) ini dengan beberapa pertimbangan.
“SKB ini memastikan hak peserta didik menggunakan seragam dengan kekhasan agama sesuai keyakinannya dan tidak boleh dilarang oleh pemerintah daerah dan sekolah,” ujar Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar dalam keterangannya, Sabtu (13/2/2021).
Kedua, SKB ini melarang pemerintah daerah dan sekolah memaksakan seragam kekhasan agama tertentu pada penganut agama yang berbeda.
Selain itu, menurut Miftachul, MUI meminta dilakukan revisi atas isi SKB tiga menteri, agar tidak memicu polemik, kegaduhan dan ketidakpastian hukum. Salah satunya pada diktum ketiga dari SKB ini yang mengandung tiga muatan dan implikasi yang berbeda.
“Ada implikasi pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh melarang penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu patut diapresiasi, karena memberi perlindungan pelaksanaan agama dan keyakinan masing-masing peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan,” jelasnya.
Lalu, masih ujar Miftachul, dalam ketentuan yang mengandung implikasi pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan mensyaratkan, dan mengimbau penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu harus dibatasi pada pihak (peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan) yang berbeda agama. Sehingga, tidak terjadi pemaksaan kekhasan agama tertentu pada pemeluk agama yang lain.
“Bila kewajiban, perintah, persyaratan, atau imbauan itu diberlakukan terhadap peserta didik yang seagama, pemerintah tidak perlu melarang. Sekolah dapat saja memandang hal itu bagian dari proses pendidikan agama dan pembiasaan akhlak mulia terhadap peserta didik,” terangnya.
Dikatakan Miftachul, seharusnya hal itu diserahkan kepada sekolah, bermusyawarah dengan para pemangku kepentingan, termasuk komite sekolah, untuk mewajibkan atau tidak, mengimbau atau tidak. “Pemerintah tidak perlu campur tangan pada aspek ini,” ucapnya.
Lebih jauh dia mengatakan, pemerintah hendaknya membuat kebijakan yang memberikan kelonggaran kepada sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah untuk membuat pengaturan yang positif yang arahnya menganjurkan, membolehkan dan mendidik para peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya, termasuk dalam berpakaian seragam kekhasan agama.
“Ini kan sejalan dengan Pasal 29 UUD 1945 ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tia-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya,” beber Miftachul.
Majelis Ulama Indonesia berpandangan bahwa pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga menanamkan nilai-nilai (transfer of values), dan pengamalan ilmu serta keteladan (uswah).
“Sekolah yang memerintahkan atau mengimbau peserta didik, dan tenaga kependidikan agar menggunakan seragam dan atribut yang menutup aurat, termasuk berjilbab, merupakan bagian dari proses pendidikan untuk mengamalkan ilmu dan memberikan keteladanan,” kata Miftachul.
Pada diktum kelima huruf d, masih ujar Miftachul, sanksi kepada sekolah yang bersangkutan terkait dengan bantuan operasional sekolah dan bantuan pemerintah lainnya yang bersumber dari Kemdikbud sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tidak sejalan dan bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2).
“Pemerintah sebaiknya lebih fokus dalam mengatasi masalah dan dampak yang sangat berat akibat pandemi Covid-19,” katanya. (nas)








