PIT Bantu Kendalikan Penangkapan Ikan Secara Proporsional

INDOPOSCO.ID – Pada 2014 lalu produksi ikan olahan kaleng mencapai 70 ton perhari. Namun saat ini tingkat produksi hanya berkisar antara 20-40 ton saja. Pernyataan tersebut diungkapkan Wali Kota Bitung Maurits Mantiri dalam keterangan, Minggu (26/11/2023).
Penurunan produksi tersebut, menurutnya, mengakibatkan 14 ribu pekerja dirumahkan. “Bagaimana jalan keluar yang akan diberikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar kondisi perikanan di Bitung dapat membaik?” katanya.
Kepala Dinas Perikanan Sulawesi Utara Tienneke Adam menambahkan, Bitung adalah kota pelabuhan yang memiliki banyak industri perikanan, baik perikanan tangkap maupun pasca-tangkap.
“Pengolahan ikan yang dimiliki sebanyak 111 unit yang terdiri dari processing untuk produk kaleng, frozen tuna, fresh, dan smoke fish,” katanya.
Dengan potensi ini, menurut dia, Bitung berpeluang untuk menguasai perikanan dunia. Secara geografis, kata Tienneke, Sulawesi Utara memiliki posisi strategis untuk mengekspor produk perikanan ke Cina, Korea, Jepang, dan negara-negara lain. “Karena itu, perlu ada kebijakan baru yang mendukung produksi olahan perikanan,” ucapnya.
Untuk menjawab persoalan tersebut, Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) secara bertahap mulai menjalankan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota. Kuota ini ditentukan berdasarkan potensi sumber daya ikan dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan.
Kuota ini juga sangat mempertimbangkan pemanfaatan sumber daya ikan. Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28/2023 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No 11/2023.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Ridwan Maulana mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur adalah upaya untuk mengendalikan penangkapan ikan secara proporsional berdasarkan kuota yang telah ditetapkan. Dengan pengendalian ini diharapkan terjadi optimalisasi dari seluruh aspek biologi, sosial ekonomi, dan lingkungan.
Menurut dia, komponen kebijakan penangkapan ikan terukur adalah, pengaturan pendaratan ikan pelabuhan, perizinan dan bagaimana kontribusi sektor perikanan negara yang lebih baik.
“Sebelum ada PIT, izin penangkapan ikan bukan berdasarkan kuota,” kata Ridwan.
Sehingga untuk mengukur kapasitas tangkapan hanya didasarkan pada perkiraan kemampuan alat tangkap ikan pada kapal nelayan. Metode ini membuat pemerintah tidak bisa mengawasi eksploitasi dalam penangkapan ikan. Ekploitasi inilah yang pada akhirnya menguras sumber daya ikan. “Melalui kuota ini, diharapkan tidak ada unsur perkiraan lagi dan loss control dalam penangkapan ikan,” ungkapnya.
Diketahui, pembagian kuota penangkapan ikan dibedakan atas tiga jenis, yaitu kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota non-komersial. Kuota industri berlaku di wilayah perairan yang jaraknya lebih dari 12 mil.
Sedangkan untuk nelayan lokal di bawah 12 mil sebagai batas kewenangan pemerintah. Di antara itu ada batas non-komersial untuk keperluan penelitian.
Dengan kebijakan penangkapan ikan terukur, data-data dari perizinan yang dicatat di Pelabuhan menjadi kredibel.
Data-data ini tentu sangat membantu perencanaan dan pengembangan perikanan yang lebih baik. Sehingga pada akhirnya sumber daya alam menjadi lebih terkontrol.
Ketua Bidang Perikanan dan Peternakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hendra Sugandhi khawatir, pemberlakuan PIT justru membahayakan keberlanjutan usaha perikanan. Sebab saat ini pasokan bongkar dan ekspor mulai menurun karena diterapkannya penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“Seharusnya kita memprioritaskan pemanfaatan sumber daya alam yang ada, hal ini agar persebaran kapal yang merata,” katanya.
“Sehingga data pascaproduksi diterapkan terlebih dahulu dibandingkan penerapan kuota agar tidak memberatkan nelayan,” imbuhnya.
Menurut Hendra, ketentuan penangkapan ikan terukur harus dijelaskan lebih lanjut dalam aturan teknisnya. Misalnya saja tentang kuota yang diperbolehkan. Ia merasa ada perbedaan antara apa yang disosialiasikan kepada pengusaha dengan ketetapan pada PP No 11/2023. “Jangan sampai kontraproduktif,” kata Hendra. (nas)