Nusantara

MAKI Sebut Kejati Banten Janjikan Kasus Pantai Pasauran akan Naik Penyidikan

INDOPOSCO.ID – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) telah mendatangi Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten untuk menagih perkembangan laporan kasus dugaan korupsi pembangunan pengaman Pantai Pasauran, Anyer, Kabupaten Serang, Provinsi Banten tahun anggaran 2020.

“Kemarin, Rabu (22/9/2021) saya telah mendatangi Kejati Banten dan bertemu dengan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus). Kejati menjanjikan akan menaikkan kasus ini ke penyidikan, dengan waktu segera, dengan ancar-ancarnya yah bulan ini. Berarti minggu depan lah, maksimal minggu depannya lagi, dua minggu lah. Ya, gambarannya seperti itu,” ujar Koodinator MAKI, Boyamin bin Saiman, kepada Indoposco.id, Kamis (23/9/2021).

Boyamin mengatakan pihaknya menunggu janjinya (Kejati Banten) maksimal dua minggu ke depan.

“Kalau belum penyidikan, nanti saya gugat praperadilan, seperti biasanya pada kasus-kasus yang lain,” tegasnya.

Menurut Boyamin, dari hasil pertemuannya dengan Aspidsus Kejati Banten, tampak sangat kondusif dan progresif terkait penanganan kasus dugaan korupsi pembangunan pengaman Pantai Pasauran itu.

“Ternyata kemarin, Rabu (22/9/2021) ada tim dari Kejati yang turun ke lokasi proyek itu. Mudah-mudahan segera dilengkapi dan naik ke penyidikan. Setelah penyidikan pasti ada penentuan tersangka dan selanjutnya ke pengadilan,” ujarnya.

Sebelumnya Boyamin mengatakan, MAKI telah berkirim surat dengan Nomor: 57/MAKI/IX/2021 pada tanggal 10 Agustus 2021 perihal Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pembangunan Pengaman Pantai Pasauran Serang tahun anggaran 2020 pada Satuan Non Vertikal Tertentu (SNVT) Pelaksanaan Jaringan Sumber Air, Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) dengan anggaran sekitar Rp14 miliar.

Ia menjelaskan berdasarkan berdasarkan penelusuran MAKI, proyek tersebut terdapat dugaan mark up sekitar Rp6,9 miliar dikarenakan pekerjaan dilakukan bukan oleh pemenang lelang dan patut diduga dikerjakan oleh pihak lain.

“Diduga sub kontraktor tidak resmi dan tidak mendapat persetujuan resmi dari pimpinan proyek (pimpro) dengan anggaran sekitar Rp7,1 miliar,” tegas Boyamin.

Boyamin menegaskam bahwa dengan modus dugaan pengerjaan oleh sub kontraktor, yang menelan biaya sekitar Rp7,1 miliar, maka diduga telah terjadi mark up sebesar Rp6,9 miliar yang mana biaya mark up tersebut menjadi kerugian negara sebagaimana rumusan tindak pidana korupsi yang diatur Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2002. (dam)

Back to top button