KPK Didesak Tangani Kasus Pemotongan Dana Hibah Ponpes

INDOPOSCO.ID – Indikasi korupsi Penyaluran Dana Hibah Pondok Pesantren (Ponpes) yang bersumber dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Banten Tahun Anggaran (TA) 2020 sebesar Rp117 miliar, masih menjadi sorotan publik.
Terlebih, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten telah menetapkan tiga tersangka dari kasus tersebut. Mereka adalah TB. AS sebagai pengurus salah satu Ponpes yang menerima bantuan hibah. Kemudian AG yang berprofesi sebagai honorer di Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Provinsi Banten. Terakhir, ES sebagai pihak swasta.
Dengan terkuaknya indikasi korupsi dana hibah Ponpes tersebut, muara maupun titik permasalahannya dinilai tidak bisa dilepaskan dari pada peran Wahidin Halim selaku Gubernur Banten.
“Sejauh yang saya amati, persoalan ini memang tidak bisa dilepaskan dari peran Wahidin Halim selaku Gubernur Banten. Karena bagaimana pun, yang namanya pengesahan maupun pemberian Hibah dari APBD itu, pasti di tandatangani Gubernur. Itu diatur dalam Undang-Undang maupun aturan turunannya,” kata Koordinator Presidium Jaringan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia (JPMI), Deni Iskandar, melalui rilisnya kepada INDOOSCO, Selasa (27/4/2021).
Deni menjelaskan, peran Wahidin Halim dalam pusaran indikasi dugaan korupsi dana hibah pondok pesantren tertuang dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) seperti diatur dalam Permenagri No 32 Tahun 2011 maupun Pergub No 10 Tahun 2019.
Di samping itu, pihaknya menilai adanya mega korupsi dalam ranah agama itu juga disebabkan karena lemahnya Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Provinsi Banten, seperti Sekretaris Daerah (Sekda) maupun Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).
Oleh karenanya, Deni berpendapat. kasus dugaan korupsi dana hibah pondok pesantren di Banten, sebaiknya ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Saya yakin, dalam kalau ini TAPD-nya benar, tidak akan seperti sekarang ini posisinya. Ini harus diusut tuntas. Karena ini sudah bicara penistaan agama. Ini yang di korupsi duit umat. Jadi ES itu adalah juru kunci. Sekelas kasus seperti ini, seharusnya KPK yang turun tangan,” ungkapnya.
Sementara itu, Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) mengaku sangat menghormati Kiyai. Dalam kasus yang telah terjadi, orang nomor satu di Banten itu berpesan agar pengguna anggaran mampu mengendalikan diri menjalankan tugasnya dengan benar sesuai Perundang-undangan.
“Saya sangat menjaga dan menghormati kiyai. Dengan adanya PHD (Perjanjian Hibah Daerah, red), sampaikan amanah ini dengan benar. Kita harus mampu mengendalikan diri, khususnya di tengah menjalankan ibadah puasa seperti saat ini,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Gubernur mengaku prihatin dan sedih bahwa niat baiknya untuk memberikan bantuan ke Pondok Pesantren ternyata membawa masalah hukum. Bantuan atau insentif ke Pondok Pesantren sebagai bentuk penghargaan yang sejak kemerdekaan membangun dan mendidik masyarakat tanpa pamrih dan tanpa mengharap jasa.
“Makanya saya optimis bantuan ini sampai Kiyai dan memberikan manfaat. Mungkin karena jumlahnnya tidak sebanyak di sini. Itu yang membuat saya sedih,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Gubernur juga berpesan, bantuan hibah harus dipertanggungjawabkan. Harus ada komitmen transparansi dan akuntabilitas dari lembaga penerima hibah.
“Janganlah uang yang diamanahkan ke kiyai dipotong. Jangan sampai terulang lagi. Tetap menjaga integritas, sampaikan amanah itu dengan benar,” tandasnya.
Untuk tahun ini, Bantuan Hibah Gubernur Banten untuk Lembaga Non Pondok Pesantren mencapai Rp 10.310.000.000.
Diketahui, sejauh ini Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten telah menetapkan tiga tersangka dari kasus tersebut. Mereka adalah TB. AS sebagai pengurus salah satu Ponpes yang menerima bantuan hibah. Kemudian AG yang berprofesi sebagai honorer di Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Provinsi Banten. Terakhir, ES sebagai pihak swasta.(son)