Menelisik Makna Ritual Tanpa Busana di Banten, Ini Kata Akademisi

INDOPOSCO.ID – Warga Kabupaten Pandeglang, Banten dihebohkan dengan adanya aliran Hakekok yang melakukan ritual tanpa memakai busana. Pemujaan itu direkam oleh warga dan viral di media sosial.
Fenomena sosial ini diyakini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, pernah muncul di beberapa daerah wilayah Banten, dengan kasus yang sama. Sebab, ritual ini merupakan warisan secara turun temurun. Yang menjadi perbincangan hangat di publik pada ritual itu adalah makna dibalik laki-laki dan perempuan secara terang benderang tidak mengenakan busana sehelaipun.
Akademisi Universitas Ageng Tirtayasa (Untirta) Fadullah mengatakan, ritual dengan tidak memakai busana bukanlah hal yang aneh. Mengingat, kegiatan itu bukan pertama kali ditemukan di Provinsi Banten.
Ia menjelaskan, ritual dengan telanjang adalah tradisi lama. Secara pemaknaan, peribadatan tanpa busana bertujuan agar tidak ada pembatas antara pemuja dengan Tuhannya. Bahkan dalam catatan sejarah, sebelum ada pemurnian islam di Makkah, orang tawaf disekitar Ka’bah bertelanjang.
Lalu mereka mandi dengan air zam-zam dengan bertelanjang juga. Hingga akhirnya kebiasaan itu berubah seperti saat ini.
“Argumen mereka dengan bertelanjang itu adalah tidak ada pembatas antara dirinya dengan Tuhan. Kalau memakai baju itu ada pembatas. Setiap kita lahir dalam keadaan bersih, nggak ada orang lahir pakai baju. Ada muncul di Barat kembali ke alam, tidak pakai baju,” katanya saat di wawancara, Jumat (12/1/2021).
Pengikut aliran Hakekok itu beranggapan, bahwa pakaian merupakan topeng dan bersifat kepalsuan. Hakikat dari ritual itu untuk mencari jati diri. Padahal dalam persfektif agama tidak dibenarkan.
Menurut Dosen Keagamaan Untirta itu, ajaran agama dalam hal islam, memerintahkan umatnya menjaga diri dengan menggunakan pakaian, makan dan minum. Setikanya ada tiga fungsi dari pakaian, yakni identitas, pengaruh dari prilaku dan emosi.
“Itu yang mau dicapai hakikat, itu sudut pandang dia (aliran Hakekok) begitu. Kalau dalam sudut pandang agama tidak benar, karena harus ada kehormatan yang harus di jaga,” terangnya.
Ia menduga, penganut aliran Hakekot sekelompok orang terasingkan dari komunitas sosial dan tidak menjadi keutuhan masyarakat. Sehingga, mereka mencari jalan lain dari abnormal sosial.
Biasanya, motif dari pelaksanaan ritual itu untuk penyugihan, popularitas dan kuasa. Kesulitan hidup juga menjadi faktor penting dalam fenomena sosial ini. Karena beranggapan, ritual itu menjadi jalan untuk memecahkan masalah dalam hidupnya.
“Jadi pakai baju itu keluar dari kejatidirian, keluar dari keaslian. Yang bener itu dalam persfektif ini (aliran hakekok) tidak pakai baju. Tapi perintah agama tidak begitu, diperintahkan unutk berpakaian, makan dan minum,” ujarnya.
“Gejala begini sudah lama dari dulu. Setiap mengalami krisis, awalnya dari pandemi tapi dampaknya ke ekonomi. Bukan hanya ke ekonomi, pikiran dan seterusnya, jadi orang setres. Lalu dia ingin mencari jati diri jalan keluar dari situasi ini,” jelasnya.
Fadullah menilai kegiatan itu bagian dari fenomena sosial atau budaya yang diturunkan. Ritual itu dapat disebut penyimpangan dari agama jika pemujaan itu disebut Islam Hakekok. Alasannya, akulturasi budaya animisme dan dinamisme masih melekat di wilayah Banten.
“Kalau ini Islam Haqiqoh (Hakekok), ada islam di depan. Kita sebut sebuah penyimpangan agama, karena islam tidak mengajarkan seperti itu. Ini bagian dari persembahan baru kelihatan berdoa sambil telanjang. Peritiwa bertelanjang itu sudah lama dan itu universal. Bukan hanya di Pandeglang, itu banyak pecinta alam yang melampaui batas itu sampai bertelanjang,” tukasnya. (Son)