INDOPOSCO.ID – Komisi VI DPR RI menyoroti kondisi keuangan dan kelayakan pembiayaan proyek Kereta Cepat Indonesia–China (KCIC) yang saat ini tengah menjadi perhatian publik. Proyek transportasi modern yang diharapkan menjadi simbol kemajuan infrastruktur nasional ini dinilai perlu mendapat evaluasi menyeluruh, terutama setelah muncul laporan mengenai besarnya utang yang membebani konsorsium.
Anggia Erma Rini, selaku Ketua Komisi VI DPR RI, menyampaikan bahwa pihaknya memahami proyek KCIC sejak awal tidak dibiayai langsung oleh pemerintah, melainkan melalui pembentukan konsorsium antara BUMN dan mitra asing. Namun, seiring berjalannya waktu, beban finansial proyek semakin berat sehingga berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang terhadap kondisi keuangan BUMN yang terlibat.
“Kondisinya memang sangat berat bagi BUMN dan korporasi. Dari awal pembentukannya saja sudah tidak di-handle langsung oleh negara, dan sekarang utangnya sudah besar sekali. Kita belum tahu sampai kapan bisa terbayarkan,” ujar Anggia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (14/10/2025).
Menurutnya, situasi yang dihadapi konsorsium KCIC saat ini menuntut perhatian serius dari pemerintah. Jika tidak ditangani dengan baik, beban utang dapat menghambat kinerja BUMN dan berpotensi menimbulkan kerugian jangka panjang bagi negara.
Ia juga menyoroti pentingnya koordinasi lintas kementerian/lembaga dalam mencari solusi. Terutama, sinergi antara BP BUMN dan Kementerian Keuangan dinilai penting untuk memastikan bahwa langkah penyelamatan proyek tidak menimbulkan risiko fiskal baru bagi negara.
“Menteri (Kepala BP) BUMN sudah menyampaikan akan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Kalau Kementerian Keuangan tetap tidak ingin membiayai proyek ini melalui APBN, maka perlu dicari skema alternatif. Kita diskusikan dulu supaya jelas dan tidak merugikan negara,” kata Politisi Fraksi PKB ini dikutip dari laman DPR RI,
Ia menegaskan bahwa solusi pembiayaan harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional dan keberlanjutan usaha BUMN. Pemerintah diharapkan dapat menemukan pola kerja sama yang sehat antara konsorsium, investor, dan negara tanpa membebani satu pihak secara berlebihan.
“Kita ingin negara tidak dirugikan, BUMN tetap berkembang dengan baik, dan cita-cita untuk memiliki korporasi besar yang bisa menghasilkan dividen besar bagi negara juga tetap bisa terwujud,” tambahnya.
Selain persoalan utang, ia juga menyoroti wacana perluasan rute Kereta Cepat Indonesia–China hingga ke Surabaya. Menurut Anggia, rencana tersebut perlu dikaji dengan cermat mengingat pengalaman proyek Jakarta–Bandung yang menelan biaya besar dan masih menghadapi tantangan pengembalian investasi.
“Kalau pun nanti proyek ini diperluas sampai Surabaya, semuanya harus dihitung benar-benar. Pengalaman dari KCIC Jakarta–Bandung harus dijadikan pelajaran supaya tidak mengulang kesalahan yang sama,” ujar Anggia.
Ia menambahkan bahwa secara ekonomi, jalur Jakarta–Surabaya memang lebih menjanjikan dibanding Jakarta–Bandung, karena memiliki potensi penumpang dan arus logistik yang lebih tinggi. Namun, besarnya investasi awal membuat proyek ini berisiko tinggi jika tidak diiringi dengan perencanaan yang matang.
“Jakarta–Surabaya memang menjanjikan, tapi karena investasinya besar sekali, maka semua harus diperhitungkan secara cermat. Jangan sampai nanti negara rugi dan BUMN juga rugi,” ujarnya.
Meski isu perluasan proyek ke Surabaya ramai dibicarakan, Komisi VI menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada paparan resmi dari pihak BUMN maupun Kementerian Perhubungan. Karenanya, DPR RI akan menunggu data resmi dan rencana teknis sebelum memberikan pandangan lebih lanjut.
“Kita belum mendengar secara detail, ini baru sebatas rumor. Kalau nanti sudah ada rencana resmi, kita akan diskusi dan bedah bersama supaya keputusan diambil berdasarkan perhitungan yang matang,” jelas Anggia (dil)