Aroma Kriminalisasi Kebijakan Nadiem Ancaman Terjadi Eksodus Intelektual, Begini Kata Pakar

INDOPOSCO.ID – Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook yang menjerat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) 2019-2024 Nadiem Anwar Makarim, terus menuai kontroversi. Proses hukum yang sedang berjalan dinilai banyak kejanggalan dan dugaan adanya kriminalisasi kebijakan.

Pakar Hukum yang juga Advokat Senior, Todung Mulya Lubis meyakini bahwa Nadiem tidak bisa dijadikan tersangka jika merujuk pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pasal 2 ayat (1). Aturan tersebut menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.

Dia yakin Nadiem tidak melakukan tindakan untuk memperkaya diri sendiri. “Jadi menurut saya, apa yang dilakukan oleh Nadiem Makarim, ini satu kebijakan yang tidak bisa dikriminalisasi kecuali kalau memang misalnya ada unsur self-enrichment, memperkaya diri sendiri,” ujar Todung dalam keterangan, Minggu (12/10/2025).

Dia juga melihat tidak adanya kemungkinan Nadiem berniat untuk memperkaya pihak lain.

“Jadi kecenderungan kriminalisasi kebijakan ini, menurut saya perlu kita betul-betul pahami dan teliti supaya kita tidak salah dalam melangkah, ” jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa kecenderungan kriminalisasi kebijakan ini dapat membawa dampak jangka panjang yang berbahaya bagi bangsa. Jika tren ini terus berlanjut, orang-orang baik dan cerdas tidak akan mau lagi mengabdi menjadi pejabat di Indonesia.

“Mereka akan memilih untuk bekerja di luar negeri, memicu terjadinya brain drain atau eksodus para intelektual,” tuturnya mengingatkan.

Lebih lanjut, Todung pun mempertanyakan tindak pidana yang dituduhkan kepada Nadiem, sehingga membuatnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Menurutnya, pengadaan Chromebook merupakan sebuah keputusan kebijakan yang didasarkan pada visi Nadiem untuk memajukan literasi digital di Indonesia. Visi ini telah dimiliki Nadiem sejak lama, bahkan sebelum ia menjabat sebagai menteri dan telah dibuktikan melalui kesuksesannya membangun Gojek.

Ia menjelaskan, setiap menteri memiliki hak untuk memiliki visi dan membuat kebijakan, selama kebijakan tersebut tidak melanggar hukum, telah dideliberasi, dan tidak ada unsur memperkaya diri sendiri. Bagi dia, penetapan tersangka yang didasarkan pada penilaian (judgement) bahwa sebuah kebijakan tidak tepat adalah langkah yang keliru.

“Ketika dia menjadi menteri, dia juga sudah memiliki pengetahuan, berteriak supaya siswa itu belajar mengenai bahasa Inggris, belajar mengenai coding, belajar mengenai komputer, internet. Karena dunia digital ini akan menjadi bagian yang sangat dominan dalam hidup kita ke depan,” katanya.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani mengambil risiko dan membuat kebijakan yang progresif, bukan yang takut dicap kriminal. Kasus Nadiem menjadi pengingat bahwa dedikasi dan inovasi dapat disalahartikan dan berujung para sanksi hukum.

Diketahui, Todung merupakan salah satu dari 12 tokoh antikorupsi yang menyampaikan pendapat hukum dalam bentuk Amicus Curiae kepada hakim praperadilan Nadiem Makarim. Pengajuan itu dimaksudkan untuk mereformasi proses pemeriksaan praperadilan penetapan tersangka secara umum di Indonesia. (nas)

Exit mobile version